LANGIT7.ID–Jakarta; Iran berjanji akan membalas serangan terhadap fasilitas nuklir mereka serta pembunuhan sejumlah petinggi militer di Teheran. Pemerintah menyebut responsnya nanti akan sangat tegas, bahkan menyatakan bahwa “akhir dari cerita ini akan ditulis oleh tangan Iran”.
Tanda-tanda serangan balasan mulai terlihat. Israel menyebut Iran meluncurkan sekitar 100 drone ke wilayahnya, dan sistem pertahanan udara Israel langsung bekerja mencegat drone-drone tersebut sebelum masuk ke wilayahnya.
Pemerintah Irak mengonfirmasi lebih dari 100 drone Iran telah melintasi wilayah udaranya. Tak lama setelah itu, Yordania juga menyatakan telah mencegat sejumlah rudal dan drone yang masuk ke wilayah udaranya, karena khawatir akan jatuh di area permukiman mereka.
Iran yang tengah dilanda kekacauan militer membantah telah meluncurkan drone, bahkan menyebut mereka belum mulai menyerang sama sekali.
Sebagai respons atas serangan terbesar Israel sejauh ini, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengancam akan memberi “hukuman berat” dan mengklaim bahwa wilayah sipil telah menjadi sasaran.
Pemerintah Iran menyatakan akan mengambil langkah balasan secara militer dan diplomatik. Mereka juga menyebut banyak warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak, tewas dalam serangan di berbagai wilayah Iran. Kantor berita Fars mengklaim bahwa 78 orang tewas dan lebih dari 300 orang terluka hanya di Provinsi Teheran. Selain itu, banyak petinggi militer dan angkatan udara Iran yang dilaporkan tewas, termasuk enam ilmuwan yang terlibat dalam program nuklir.
Masih belum jelas apakah Iran akan menyerang pangkalan militer AS di Timur Tengah, namun komentar Donald Trump yang memuji tindakan Israel dan mengklaim bahwa AS sudah tahu serangan ini akan terjadi—meski tak ikut campur—memicu kemarahan di Teheran.
Iran juga masih mempertimbangkan apakah akan melanjutkan perundingan nuklir dengan AS. Perundingan putaran keenam yang dimediasi Oman sedianya akan digelar di Muscat pada hari Minggu, dengan utusan khusus AS Steve Witkoff.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, tidak secara eksplisit membatalkan perundingan tersebut. Namun, ia menyebut Israel telah “melampaui batas” dan menudingnya melakukan deklarasi perang. Ia juga meminta pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB di New York. Direktur Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Rafael Grossi, mengatakan fasilitas pengayaan uranium di Natanz hancur, namun tingkat radiasi di luar masih terkendali.
Iran mengecam pernyataan Trump yang mengatakan bahwa mereka seharusnya sudah siap diserang karena masa tenggat 60 hari telah habis. Dalam pernyataan keras, pemerintah Iran menyebut Israel sebagai pelaku terorisme dan menuduh negara itu bertindak seperti “pemabuk yang menyalakan api perang di depan mata dunia, termasuk para negara Barat yang sok menjunjung HAM dan hukum internasional”.
“Memulai perang dengan Iran sama saja dengan bermain-main dengan ekor singa,” tulis pernyataan itu.
Pernyataan tersebut juga secara tersirat mengindikasikan bahwa Iran bisa saja mempertimbangkan untuk membuat bom nuklir sebagai bentuk pertahanan diri. “Dunia sekarang lebih memahami alasan Iran bersikukuh mempertahankan haknya atas pengayaan, teknologi nuklir, dan kekuatan rudal. Musuh telah memberikan bukti siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi ancaman bagi keamanan kawasan.”
Sejumlah anggota parlemen garis keras bahkan mendesak Khamenei agar mencabut fatwa yang selama ini mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir. Mereka menyebut, setelah poros perlawanan Iran di berbagai wilayah kian melemah akibat serangan Israel, satu-satunya jalan bertahan hanyalah dengan memiliki bom nuklir.
Di antara tokoh penting yang tewas dalam serangan Israel adalah Jenderal Hossein Salami (komandan utama Garda Revolusi), Jenderal Gholamali Rashid, ilmuwan nuklir Mohammad Mehdi Tehranchi, dan Fereydoun Abbasi (mantan kepala Badan Energi Atom Iran).
Tak lama setelah serangan, dua jabatan strategis langsung diisi orang baru. Mayor Jenderal Abdolrahim Mousavi menggantikan Mayjen Mohammad Bagheri sebagai kepala staf angkatan bersenjata. Sementara Mohammad Pakpour ditunjuk sebagai pemimpin baru Garda Revolusi menggantikan Salami.
Serangan juga menghantam area permukiman di Teheran. Foto-foto yang beredar menunjukkan beberapa lantai apartemen rusak, bahkan kerusakan merembet ke lantai lain.
Barak-barak militer juga jadi sasaran, dengan laporan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan. Namun, Gubernur Isfahan menegaskan tidak ada kebocoran uranium dari fasilitas nuklir Natanz.
Fasilitas listrik dan minyak tidak menjadi target, setidaknya untuk saat ini. Tapi jika Iran melakukan serangan balasan, bukan tidak mungkin Israel akan menghantam sasaran ekonomi. Sampai sekarang, Israel juga belum menyasar tokoh-tokoh politik atau diplomatik Iran.
Pemerintah Iran pun sadar bahwa serangan ini bisa memicu kemarahan rakyat, dan mengimbau warganya hanya mengikuti informasi resmi, serta mengabaikan rumor.
Putaran perundingan keenam yang sudah dirancang sebelumnya adalah kali pertama kedua pihak akan saling bertukar proposal tertulis. Fokus pembahasan adalah apakah Iran boleh melanjutkan pengayaan uranium di dalam negeri dengan pengawasan penuh dari IAEA.
Iran menyatakan tidak memiliki niat membangun bom nuklir. Mereka juga menegaskan bahwa sebagai anggota Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), mereka berhak mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan sipil. Iran juga menyampaikan bahwa laporan IAEA yang diserahkan minggu ini tidak menunjukkan bukti bahwa Iran dekat dengan pembangunan bom, meski memang belum bisa dipastikan bahwa program nuklir Iran murni untuk tujuan damai.
Iran menegaskan bahwa stok uranium yang mereka kumpulkan adalah bentuk respons sah terhadap keputusan sepihak Donald Trump yang menarik diri dari perjanjian nuklir pada 2018 dan memberlakukan sanksi ekonomi.
Delegasi negosiator Iran tahu betul bahwa Israel semakin khawatir Trump, yang sedang dihadapkan pada tekanan politik di Washington, bisa saja menyetujui kesepakatan yang terlalu lunak. Namun diplomat Arab percaya Trump memang tulus tak ingin Israel melancarkan serangan.
Sayangnya, keyakinan Iran bahwa mereka masih punya waktu sebelum AS menyetujui serangan militer, tampaknya jadi kesalahan besar. Meski begitu, bagi Iran, hak atas pengayaan uranium sudah jadi garis merah yang tak bisa dinegosiasikan.
Iran juga merasa bahwa selama ini mereka diberi harapan oleh AS bahwa pengayaan uranium untuk kepentingan damai akan diizinkan. Tapi hingga kini, AS belum benar-benar membuat komitmen tertulis. Iran pun mulai mempertanyakan apakah mereka sedang dipermainkan oleh negosiator AS, atau justru Israel mendapat lampu hijau dari Washington untuk menyerang.
Bagi rakyat Iran, walau Trump belakangan berusaha jaga jarak dengan Israel, faktanya dia tak banyak bertindak untuk membatasi manuver Israel, baik di Gaza maupun di kawasan lain.
Sistem pertahanan udara Iran tampak tak berfungsi maksimal, sebagian besar karena dihancurkan lebih dulu oleh serangan Israel pada Oktober lalu. Bahkan sistem pertahanan buatan Rusia yang melindungi fasilitas nuklir pun ikut lumpuh.
Satu-satunya kelebihan yang masih dimiliki Iran saat ini adalah mulai membaiknya hubungan dengan negara-negara Arab di kawasan. Meski jaringan proksi Iran di Lebanon, Palestina, Suriah, Yaman, dan Irak sudah banyak yang lumpuh karena Israel, simpati negara Teluk masih ada. Hanya saja, simpati itu dipastikan tidak akan sampai pada dukungan militer langsung untuk melawan Israel.
(lam)