LANGIT7.ID-Ada seorang wali besar yang bermimpi tentang
Hari Pengadilan. Dalam mimpinya, matahari merapat ke bumi, orang-orang tercekik haus, dan para anak kecil membawa cawan-cawan emas berisi air. Namun ketika ia meminta seteguk, anak-anak itu berkata dingin: “Tak satu pun dari kami anakmu.” Pagi harinya, wali itu bangun dengan tubuh basah keringat, dan pada hari yang sama ia memutuskan untuk menikah.
Di tengah dunia yang bising dengan debat soal cinta, kesetaraan, dan hak individu, kisah
Imam Al-Ghazali ini terasa seperti petuah dari zaman lain. Tapi justru di situlah letak relevansinya: pernikahan bukan hanya soal pasangan, melainkan juga soal ibadah, rahmat, dan bahkan, sebagaimana ia tegaskan, strategi rohani untuk menyelamatkan diri di akhirat.
Bagi Al-Ghazali, pernikahan adalah salah satu amal ibadah paling mulia. Sebab, sebagaimana firman Allah bahwa manusia diciptakan untuk beribadah, semakin banyak orang yang lahir untuk menyembah Tuhan berarti semakin banyak pula pengabdian di muka bumi. Para teolog lalu menyusun pepatah: lebih baik sibuk
menikah daripada menekuni ibadah-ibadah sunah semata.
Baca juga: Tarian Ekstase yang Ditahan, Teriakan yang Mematikan di Mata Imam Al-Ghazali Nabi Muhammad SAW sendiri menggambarkan dengan bahasa yang lebih menyentuh. Anak-anak, kata beliau, kelak di akhirat akan menarik kedua orang tuanya masuk surga. Bahkan yang meninggal di usia dini, sambil menangis di gerbang surga, akan memanggil-manggil ayah dan ibunya hingga keduanya diizinkan masuk untuk bergabung. Pernikahan, dalam pandangan ini, bukan hanya urusan duniawi, melainkan jembatan rahmat yang menjulur sampai ke kehidupan sesudah mati.
Tapi menikah tak hanya tentang anak-anak. Al-Ghazali menulis bahwa perempuan — istri — juga menjadi tempat suami beristirahat setelah kepenatan ibadah dan kerja. Sebagaimana Nabi ketika merasa tertekan oleh wahyu-wahyu yang turun, meminta Aisyah berbicara dengannya. “Berbicaralah padaku, wahai Aisyah,” katanya, seolah percakapan itu bisa mengembalikan kekuatan untuk menerima wahyu berikutnya.
Dalam satu hadis lain, beliau mengatakan, “Aku mencintai tiga hal di dunia ini: wewangian, perempuan, dan penyegaran kembali dengan shalat.” Bahkan ketika Umar bertanya tentang bekal terbaik di dunia, Nabi menjawab: lidah yang selalu berzikir, hati yang bersyukur, dan istri yang amanah.
Bagi sebagian orang, ini tampak seperti pandangan patriarkal. Tetapi Al-Ghazali menegaskan bahwa istri bukan sekadar pelengkap, melainkan karunia yang memberi waktu luang kepada suami untuk belajar, bekerja, dan beribadah. Dengan kata lain, pernikahan juga soal pembagian peran: ada yang memasak, membersihkan rumah, dan menjaga keluarga, supaya yang lain bisa memikirkan akhirat.
Baca juga: Ekstase, Luka, dan Sunyi Para Pencinta Ajaran Imam Al-Ghazali Abu Sulaiman bahkan menyebut istri sebagai “rahmat dunia dan akhirat” karena waktu luang yang ia berikan kepada suami untuk mengingat Tuhan. Dan Umar pernah berkata: “Setelah iman, tidak ada rahmat yang menyamai istri yang baik.”
Namun tentu saja, pernikahan juga membawa beban: sabar menghadapi “teteh-bengek kewanitaan”, memenuhi hak-hak istri, menjaga mereka tetap berada di jalan hukum. Bahkan beban itu sendiri, menurut Nabi, adalah bagian dari agama. “Memberi nafkah kepada istri,” katanya, “lebih utama daripada memberi sedekah.”
Di tengah dunia yang sering menganggap pernikahan sebagai arena konflik kepentingan, kisah-kisah ini mengajarkan perspektif lain: pernikahan adalah ladang ibadah, jalan menuju rahmat, latihan sabar, dan sumber kekuatan rohani.
Bagi mereka yang sedang mempertimbangkan menikah atau justru meragukan lembaga ini, petuah dari Kimia Kebahagiaan memberi perspektif yang mengingatkan bahwa menikah tak melulu soal dunia: ia juga cara untuk belajar beribadah — bersama.
Baca juga: Bukan Seruling Setan: Membaca Ulang Musik dan Tarian dalam Laku Sufi Imam Al-Ghazali(mif)