LANGIT7.ID-Di tengah hiruk-pikuk wacana politik Islam hari ini, dua nama selalu muncul sebagai fondasi: 
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah (1912), dan 
KH Hasyim Asy’ari, pendiri 
Nahdlatul Ulama (1926). Keduanya sering digambarkan seakan mewakili kutub yang berseberangan: Dahlan dengan modernisme Islam, Hasyim dengan tradisionalisme pesantren. Namun, hubungan keduanya ternyata lebih kompleks daripada sekadar dikotomi modern-tradisional.
Sejarawan Alfian dalam Muhammadiyah: T
he Political Behavior of a Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialism (1969) mencatat, Ahmad Dahlan lahir dari lingkungan ulama Jawa yang kuat dengan tradisi pesantren, sebelum kemudian berguru ke Mekkah. Di kota suci itu pula ia menyerap gagasan pembaruan dari Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. 
KH Hasyim Asy’ari pun mengalami jalan serupa: nyantri di pesantren Jawa, lalu bertahun-tahun menimba ilmu di Mekkah. Menurut Zamakhsyari Dhofier dalam 
Tradisi Pesantren (1982), Hasyim Asy’ari sempat bersinggungan dengan arus pemikiran reformis, meski pada akhirnya lebih memilih mempertahankan tradisi pesantren dengan sedikit modifikasi.
Pertemuan gagasan mereka terjadi dalam ruang yang sama: kebangkitan Islam di Nusantara awal abad ke-20. Ahmad Dahlan menggagas tajdîd (pembaruan) melalui pendidikan modern, sekolah, dan amal sosial. Sementara Hasyim Asy’ari mengonsolidasikan turâts (tradisi klasik) pesantren untuk menjawab tantangan kolonialisme dan modernitas. Martin van Bruinessen dalam 
NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menyebut keduanya sebagai “dua kutub yang saling melengkapi, bukan semata bertentangan.”
Baca juga: Bid‘ah Bukan Sekadar Baru: Menyelami Metodologi Muhammadiyah dan NU Relasi personal antara Dahlan dan Hasyim Asy’ari memang tak banyak terdokumentasi. Namun, ada catatan penting: ketika Muhammadiyah mulai berkembang di Yogyakarta, sejumlah santri dan kiai dari Jawa Timur terinspirasi oleh gagasan Dahlan. Menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985), Hasyim Asy’ari menghargai metode dakwah Dahlan, tetapi menilai ada kebutuhan mendesak untuk tetap menjaga otoritas ulama pesantren agar tidak tercerabut. Dari sinilah, garis perbedaan yang konstruktif mulai terbangun.
Meski berbeda jalan, keduanya bersatu dalam isu kebangsaan. Menjelang kemerdekaan, Muhammadiyah dan NU berada dalam barisan yang sama mendukung perjuangan nasional. Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad 1945 menegaskan kewajiban melawan penjajah. Muhammadiyah, lewat tokoh-tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo, berada di garis depan perumusan dasar negara. “Perbedaan mereka tidak menghalangi perjumpaan dalam cita-cita besar: Islam sebagai kekuatan moral bangsa,” tulis Haedar Nashir dalam Islam Syariat (2013).
Kini, warisan dua tokoh ini kerap direduksi menjadi perdebatan modernis vs tradisionalis. Padahal, jika ditarik ke akarnya, baik Dahlan maupun Hasyim sama-sama menolak jumud (kejumudan) dan fatalisme. Mereka berangkat dari konteks yang sama, hanya berbeda strategi. Dahlan membangun sekolah dan rumah sakit; Hasyim menguatkan jaringan pesantren dan bahtsul masail. Keduanya melahirkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang hingga kini mengisi ruang publik dan politik.
Baca jufa: Din Syamsuddin Blak-blakan Anggap Konsesi Tambang untuk Muhammadiyah dan NU Jebakan Pemerintah Maka, melihat hubungan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari bukan sekadar membaca pertentangan, melainkan dialog panjang antara tajdîd dan turâts, antara modernitas dan tradisi. Sebuah dialog yang hingga kini menjadi denyut utama Islam Indonesia.
(mif)