LANGIT7.ID-Di banyak ruang publik, seks sering dibicarakan dengan bisik-bisik. Bahkan dalam keluarga Muslim, topik ini kerap diselubungi tabu. Namun, teks klasik Islam ternyata terang-terangan memberi tempat bagi seksualitas—bukan hanya hak suami, tetapi juga hak istri.
Imam al-Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin menulis: “Salah satu hak istri adalah dipenuhi kebutuhannya, baik nafkah maupun persetubuhan, sesuai kemampuan suami.” Ia menekankan, kebutuhan seksual perempuan bukan hal memalukan, melainkan bagian dari keadilan rumah tangga.
Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu, matamu punya hak atasmu, istrimu pun punya hak atasmu.” Ulama tafsir memaknainya, hak istri bukan hanya nafkah materi, melainkan juga kebutuhan batin.
Ibn Qudamah, ahli fiqh Hanbali, bahkan lebih tegas dalam
al-Mughni: seorang suami dianjurkan menyetubuhi istrinya minimal sekali dalam empat malam, merujuk pada batas maksimal poligami. Tapi bila istri meminta lebih, dan suami mampu, maka menolak tanpa alasan syar’i dianggap menyakiti.
Penelitian Kecia Ali dalam
Sexual Ethics and Islam (2006) menguatkan bahwa sejak awal Islam menekankan
mutuality—saling memberi kepuasan. “Nafkah batin bukanlah hak sepihak, melainkan kewajiban timbal balik,” tulisnya.
Baca juga: Alhamdulillah! Maxime Bouttier dan Luna Maya Sah Jadi Suami Istri Menghapus tabuMeski teks begitu terang, kultur sering membungkam. Dalam banyak masyarakat Muslim, permintaan seksual dari istri dianggap tabu atau aib. Sosiolog Fatima Mernissi dalam
Beyond the Veil (1975) mencatat, perempuan kerap ditempatkan sebagai pihak pasif yang harus menunggu. Padahal, hadis-hadis Nabi justru mengajarkan sebaliknya.
Rasulullah ﷺ disebutkan tidak pernah malu membicarakan seks. Dalam riwayat Abu Dawud, beliau menegur lelaki yang menyetubuhi istrinya tanpa foreplay: “Janganlah kalian mendatangi istri-istri kalian seperti hewan; hendaklah ada pendahuluan dengan kata-kata lembut dan ciuman.”
Adab Islam memberi ruang pada perempuan untuk meminta. Bahkan doa sebelum bercampur pun menegaskan kesalingan: suami-istri sama-sama memohon keberkahan.
Di Indonesia, aktivis gender Muslimah seperti Musdah Mulia menafsir ulang hak seksual istri sebagai bagian dari *maqashid syariah*—tujuan hukum Islam yang menjamin
hifz an-nafs (perlindungan jiwa) dan
hifz al-‘irdh (menjaga kehormatan). “Jika hak seksual istri diabaikan, rumah tangga bisa retak. Agama tidak menghendaki itu,” ujarnya dalam sebuah seminar (2018).
Baca juga: Imam Ghazali: Puasa Tak Cukup Hanya Menahan Lapar, Dahaga, dan Hubungan Suami Istri Riset yang dipublikasikan dalam
Journal of Muslim Mental Health (2019) menyebut, kepuasan seksual yang setara dalam pernikahan Muslim meningkatkan kesejahteraan psikologis dan mengurangi konflik rumah tangga.
Kisimpulannya, adab Islam soal seks jauh dari stigma. Ia mengajarkan bahwa istri boleh meminta, suami wajib memenuhi selama mampu, dan keduanya dianjurkan saling merawat. Seks bukan semata syahwat, tapi ibadah yang menguatkan ikatan.
Akhir kata, bahwa dalam rumah tangga Muslim, suara istri di ranjang bukan aib. Ia justru gema keadilan yang disyariatkan sejak 14 abad lalu.
(mif)