LANGIT7.ID-Malam-malam di Madinah abad ke-7, kisah rumah tangga Nabi Muhammad ﷺ kerap jadi rujukan fiqh. Seks—dalam pandangan Islam—bukan sekadar urusan biologis, tapi bagian dari ibadah. Bahkan dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Di dalam persetubuhan salah seorang dari kalian ada sedekah.” Para sahabat terkejut, lalu Nabi menjelaskan: jika seseorang menyalurkan syahwat di tempat haram ia berdosa, maka bila ia menyalurkannya di tempat halal, ia mendapat pahala.
Pernyataan itu terdengar sederhana, tapi maknanya revolusioner. Di banyak peradaban kuno, seks dipandang tabu, kotor, atau sekadar urusan prokreasi. Islam justru menempatkannya dalam ruang sakral: halal, berpahala, sekaligus berfungsi sosial.
Imam al-Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin menulis, hubungan seksual adalah hak timbal balik suami istri. Seorang suami berdosa bila mengabaikan kebutuhan biologis istrinya. Demikian pula seorang istri dianjurkan memenuhi kebutuhan suaminya sebagai bentuk kesetiaan.
Konsep ini ditegaskan ulang oleh Yusuf al-Qaradawi dalam
Halal dan Haram dalam Islam. Menurutnya, syariat mengatur seks secara komprehensif: dari adab sebelum berhubungan, doa, hingga larangan berlebihan. Seks bukan sekadar rekreasi, tapi “penyaluran yang menjaga kesucian pribadi dan masyarakat.”
Para fuqaha (ahli fiqh) bahkan memasukkan nafkah batin sebagai bagian dari kewajiban suami. “Seorang suami wajib menyetubuhi istrinya sesuai kebutuhan normal,” tulis Ibn Qudamah dalam al-Mughni. Jika menolak tanpa alasan, suami bisa dianggap menzalimi istrinya.
Baca juga: Imam Ghazali: Puasa Tak Cukup Hanya Menahan Lapar, Dahaga, dan Hubungan Suami Istri Antara Gairah dan TabuMeski Islam memberi tempat mulia pada seks, kenyataannya dunia Muslim sering gamang membicarakannya. Leila Ahmed, sejarawan Mesir-Amerika, mencatat dalam
Women and Gender in Islam (1992), bahwa sejak abad pertengahan seksualitas di banyak masyarakat Islam lebih banyak dibungkam oleh norma sosial ketimbang teks agama.
Kajian kontemporer pun melihat kontradiksi itu. Penelitian Fatima Mernissi dalam
Beyond the Veil (1975) menunjukkan, perempuan Muslim sering ditempatkan dalam kerangka “syahwat yang harus dikontrol.” Padahal, dalam hadis-hadis Nabi, perempuan juga punya hak penuh atas kenikmatan seksual.
Sebuah riset di
Journal of Sex Research (2011) menemukan, pasangan Muslim yang memahami ajaran agama tentang seks lebih cenderung memiliki kepuasan pernikahan lebih tinggi. Artinya, ketika syariat dipahami utuh, seks justru memperkuat ikatan emosional.
Islam menekankan adab. Dalam
Adab az-Zifaf karya Imam al-Nawawi, disebutkan anjuran berdoa sebelum berhubungan: memohon perlindungan agar keturunan tidak tergoda setan. Rasulullah ﷺ juga melarang hubungan saat istri haid (QS Al-Baqarah: 222) atau lewat jalan belakang.
Yang menarik, hadis lain menyinggung pentingnya “
foreplay.” Rasulullah ﷺ mengajarkan agar tidak menyetubuhi istri “seperti hewan,” tapi mendahuluinya dengan ciuman dan kelembutan (HR Abu Ya’la). Riset antropologi yang dikutip Kecia Ali dalam
Sexual Ethics and Islam (2006) menilai, detail-detail ini menunjukkan Islam progresif dalam menormalisasi seksualitas sebagai bagian dari kasih sayang.
“Bercampurlah dengan mereka dengan cara yang baik” (QS An-Nisa: 19) sering ditafsir bukan hanya soal nafkah materi, tapi juga kepuasan batin.
Baca juga: Jangan Salah Paham, Pendidikan Seksualitas Bukan Cuma Soal Hubungan Seksual Ruang Kritik dan PembaruanNamun, wacana seks dalam Islam tak steril dari kritik. Aktivis gender Muslimah seperti Musdah Mulia menilai bahwa tafsir klasik masih bias patriarki—misalnya anggapan suami boleh memaksa istri berhubungan. Menurutnya, prinsip keadilan dan kesalingan harus ditegakkan dalam ranah seksual.
Debat ini kini kian relevan. Di era media sosial, diskusi tentang kawin kontrak atau pornografi sering membawa label “Islam” secara simplistis. Padahal, teks agama lebih kompleks: ia menuntut tanggung jawab, adab, dan tujuan sosial.
Jadi, seks dalam Islam, pada akhirnya, bukan sekadar urusan ranjang. Ia adalah ruang etis di mana cinta, keadilan, dan ibadah bertemu. Dari doa sebelum bercinta hingga kewajiban memenuhi hak pasangan, Islam memberi kerangka yang membebaskan seks dari stigma kotor, tanpa menafikan batas moral.
Dalam pernikahan Muslim, seks adalah rahasia kecil yang justru membuat rumah tangga besar—ibadah yang hanya diketahui dua orang, tapi nilainya melampaui syahwat.
(mif)