Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 23 Oktober 2025
home edukasi & pesantren detail berita

Kolom Fiqih Sosial: Memilih pasangan Ideal di tengah masyarakat Materialistik

fathor rohman, m.ag Senin, 20 Oktober 2025 - 12:35 WIB
Kolom Fiqih Sosial: Memilih pasangan Ideal di tengah masyarakat Materialistik
LANGIT7.ID-Tulisan ini dihantarkan di depan pembaca, untuk menghadirkan satu perspektif baru dalam memberikan satu pandangan yang kental dengan dengan gagasan kekinian, bahwa kebuah keniscyaan yang terus menerus yang namanya manusia selalu mengalami perubahan seiring dengan bergantinya hari, minggu, bulan serta tahun. Ada banyak sekali yang berbeda dari yang disukai, yang diidolakan, bahkan mungkin juga yang di harapkan. Semua ini kemudian mengubah cara pandang masyarakat terhadap satu hal yang berbeda. bahwa ada perkembangan yang terus bergerak dari waktu ke waktu, seiring dengan adanya dinamisasi yang terus berkembang di masyarakat.

Pergeseran dari cara hidup yang tradisional menuju masyarakat yang maju juga menjadi bagian dari berubah dari hidup konvensional kepada masyarakat modern yang beorientasi untuk masa depan, mengubah kepada pola-pola yang stategis-oriented mengikuti pekembangan dan kemajuan zaman. Perubahan sosial merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan saat ini, padahal perubahan itu pula yang dapat menjadi pintu masuk terbukanya mindset dan gagasan karena mendapatkan informasi yang lebih banyak sehingga memundahkan mengambil langkah-langkah yang pasti. Disisi lain perubahan juga ibarat dua mata pedang yang tidak bisa terelakkan yaitu mengandung positif dan bersifat negatif. Disisi lain pemaknaan masyarakat terhadap perubahan diartikan sebagai satu hal yang di identikkan dengan kebebasan, tidak terikat dengan norma dan mau menang sendiri.

Perkembangan sosial bila tidak diadaptasikan dengan baik maka yang terjadi adalah masyarakat materiastik. Masyarakat ini adalah masyarakat yang cenderung memiliki sikap hidup kurang menghargai orang lain dan mengganggap materi adalah segalanya dalam segala urusannya. Baginya Materi merupakan tolak ukur utama yang dijadikan penilaian kesuksesan seseorang. Padahal, sikap tersebut merupakan contoh bergesernya nilai-nilai sosial yang menjadi ciri khas bangsa.

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Sugar Daddy dan Realitas Masyarakat Modern

Salah satu dampak perubahan sosial dalam pernikahan, terlihat berdasarkan beberapa laporan dan temuan yang menggambarkan tren pernikahan yang setiap tahunnya menurun, dan dinyatakan faktornya karena pria atau wanita enggan untuk menikah karena kecenderungannya terhadap paham materialistik, yaitu menomorsatukan materi dari pada yang lain.


Kolom Fiqih Sosial: Memilih pasangan Ideal di tengah masyarakat Materialistik
Keterangan : Tren Perkawinan Pemuda Indonesia 2014-2024

Hal ini juga dapat dilihat berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam Statistik Pemuda Indonesia 2024, sekitar 69,75% pemuda belum kawin, sementara yang berstatus kawin sebesar 29,10%, dan sisanya sekitar 1,15% adalah mereka yang berstatus cerai hidup/mati (Laporan BPS tahun 2024)

Tren menikah di Indonesia menjadi perbincangan hangat di media sosial, terus mengalami penurunan hingga . Salah satu akun merinci angka pernikahan sepanjang 2013-2023 dan tercatat tahun 2023 sebagai angka pernikahan terendah. Unggahan tersebut pun banyak mendapat tanggapan dan pandangan beragam.

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Logika Agama Terhadap Perubahan Era 5.0

Alasan penurunan pernikahan dapat dilihat berdasarkan Survei Visi Teliti Seksama terhadap 300 responden tahun 2022, dari responden tersebut ketidak inginan menikah dengan alasan karir berada di posisi teratas, artinya unsur materis masih mendominasi ketidak inginan seseorang untuk menikah

Kolom Fiqih Sosial: Memilih pasangan Ideal di tengah masyarakat Materialistik
Sumber : https://validnews.id

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono juga mengatakan bahwa, materi merupakan ukuran yang paling penting dari pernikahan bagi perempuan, menurutnya karir dan pekerjaan menjadi usnurnya. Setelah karier, perempuan menempatkan pendidikan dan rekreasi pribadi menjadi aspek yang kedua setelah karir dan pekerjaan. Karena pernikahan bagi perempuan merupakan hal yang bisa menjamin kebahagiaan dan melindungi mereka.

Padahal menikah menurut Abu Zahrah, yaitu saling mendapatkan hak dan kewajiban yang bertujuan agar pergaulan laki-laki dan perempuan mendapatkan legitimasi Agama sehingga yang menjalaninya termasuk dalam pelaksanaan agama yang mengandung ibadah, karena itu sikap dari pada keduanya harus dilandasi dengan prinsip tolong-menolong (Ghozali, 2008). Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. Telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk mencari pasangan hidup atau menikah. Selain itu, hal ini juga dikuatkan oleh hadis-hadis Rasulullah Saw. Serta pendapat ulama yang sepakat bahwa perintah menikah bila sudah berkemampuan bersifat wajib, karena banyak dalil-dalil nash yang menjelaskan.

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Kaum Hijaber Nyetir Mobil dan Naik Motor

Memilih pasangan yang sepadan

Dalam agama Islam khususnya hal pernikahan dikenal dengan istilah kafaah yang berarti bahwa seorang laki-laki setara dengan calon mempelai wanitanya dalam hal kedudukan, status sosial, agama, harta, dan keturunan (slamet Abidin: 1999).

Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, yang dimaksud dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dapat diukur dengan standarisasi nasab, Islam, pekerjaan, kemandirian, ketakwaan, dan pendapatan (Ibrahim Muhammad Al-Jamal: 2010)

Sebagaimana pendapat Imam Al-Qashthalany berkatanKesepadanan diperlukan dalam perkawinan sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW, bersabda,

yang menikahkan wanita adalah para walinya saja, dan hendaknya tidak di nikahkan dengan yang tidak sepadan (kufu’).

Hal ini kemudian Imam Malik menegaskan bahwa yang dijadikan standar utama dalam hal sepadan adalah dalam hal agamanya.

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Adu outfit mahasiswa dan perhatian agama

Maka untuk itu yang dimaksud kafa’ah dalam pernikahan adalah keseimbangan dan keselarasan antara calon istri dan suami dalam pernikahan, kafa’ah ini merupakan elemen yang dapat mendukung konstruksi kebahagiaan baik bagi suami maupun istri, serta melindungi perempuan dari kegagalan atau goncangan rumah tangga. Nyatanya dalam pernikahan yang tidak seimbang memunculkan persoalan kebelakang seperti komunikasi yang tidak seimbang, ketidakharmonisan, kekhawatiran yang ditimbulkan akibat keduanya menyimpan rahasia masing-masing hal ini tentu membuat noice baru dalam pernikahan yang kemudian bilamana dibiarkan akan mengakibatkan perceraian.

Pasangan yang sepadan akan menumbuhkan rasa yang harus diperjuangkan secara bersama, yang muncul dari kesadaran masing-masing untuk mewujudkan masa depan keluarga, bagaimana mengatur, mengontrol dan mendidik sehingga keluarga tersebut di tumbuhi oleh benih-benin ketenangan dan ketentraman dalam menjalankan roda kehidupan berkeluarga. Pasangan yang seperti ini akan menghadirkan keseimbangan untuk berpacu menjalankan agama dengan baik dan menjadikan dunia dalam genggamannya. Keluarga yang seperti ini akan disibukkan dengan bagimana membangun pondasi yang kuat dalam keluarga, bagaimana bertahan ditengah gelombang persoalan yang semakin rumit, dan bagaimana menghadapi dunia dengan pasangan yang sudah pilihannya. tentu tidak bisa dipungkiri bahwa setiap keluarga akan mendapatkan ujian pengorbanan. Dan pasangan yang sepadan akan lebih mengoptimalkan kesamaan dari pada perbedaan, ini hanya bisa di realisasikan dari pasangan yang sudah memiliki bekal Agama, pendidikan, pengetahuan dalam pernikahan.

Menemukan isteri yang ideal

Tentu tidak salah memilih seorang yang ingin dinikahi sesuai dengan kriteria-kriteria logis yang dapat dilengkapi oleh calon isterinya, seperti halnya ungkapan masyarakat memilih pasangan berdasarkan bobot, bebet dan bibit, tentu ini sebagai langkah kehati-hatian dalam memilih pasangan yang akan bersama selama-lamanya.

Ada beberapa kriteria yang disampaikan Rasulullah SAW dalam memilih pasangan. Kriteria tersebut termuat dalam hadits yang berasal dari Abu Hurairah RA,sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعِ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرُ بِذَااتِ الدَيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya: "Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung." (HR Bukhari).

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Industrialisasi Outfit Olahraga Perempuan dalam Islam

Pertama Isteri dinikahi karena Maaliha atau Harta menjadi salah satu faktor pertimbangan dalam memilih pasangan karena harta merupakan modal dasar seseorang dalam menghidupi kehidupan rumah tangganya, dalam konteks ini tentu harta bisa di kategorikan sebagai pekerjaan atau keahlian yang dimiliki perempuan.

Yang kedua adalah hasabiha Maksud dari melihat wanita yang ingin dinikahi dari segi keturunannya yaitu menelusuri dengan jelas bagaimana rantai nasab yang dimiliki oleh si wanita. Seorang pria tentu ingin menikahi wanita yang jelas dan baik nasabnya. Nasab yang baik dan jelas, secara sosial tentu lebih baik dibandingkan wanita yang tidak jelas atau buruk nasab keturunannya.

Dalam hal ini Ibnu Jauzi berkata, seorang yang berakal sepatutnya memperhatikan asal-usul orang yang ia gauli dan temani, atau orang yang ia nikahkan atau yang ia nikahi, setelah itu baru melihat penampilan. Karena sesuatu kembali kepada asalnya. Mustahil seseorang yang tidak ada asalnya akan memiliki sifat yang baik (lihat Mawaridu Dzam’an Li Durusi Azzaman).

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Antara Kerudung dan Jilbab Dalam Konstruksi Sosial

Ketiga adalah Jamaaliha yaitu Kecantikan merupakan konsep yang bersifat relatif. Terkadang, seorang wanita mungkin dianggap sangat cantik oleh seseorang, tetapi mungkin tidak memiliki penilaian serupa di mata orang lain. Oleh karena itu, dalam perspektif syariah, disarankan bagi seseorang yang bermaksud untuk menikah untuk melihat calon istrinya secara langsung. Hal ini bertujuan agar dapat menilai apakah wanita tersebut memiliki kecantikan yang sesuai dengan preferensi pribadi.

Dan keempat adalah Lidiiniha yaitu Wanita yang terbaik untuk dinikahi adalah wanita yang memiliki pemahaman agama yang bagus disertai dengan akhlaknya. Yang dalam hal ini dimaknai dengan menikahi perempuan karena ia sholehah, yaitu wanita yang memiliki hubungan yang baik dengan Allah dan berlaku baik terhadap suaminya dan lingkungan, jika keduanya sudah berada dalam diri perempuan, niscaya ia layak menjadi sandaran hati suaminya tersebut.

Berdasarkan kriteria tersebut diatas, Islam menganjurkan memilih pasangan perempuan berdasarkan karena ketaatan dalam agama Islam, karena wanita yang seperti itu akan memberikan keberuntungan dalam menjalankan rumah tangga yang baik.

Mendapatkan suami yang ideal

Islam sangat memperhatikan kriteria-kriteria yang hendaknya di jadikan asas memilih pasangan terutama dalam menentukan suami yang layak dan pantas sebagai sandaran seumur hidup, bagaimanapun suami yang di pilih harus mampu menjadikan isteri sebagai perioritas utama dari semua urusan-urusanya, ia harus menjadi imam yang wajib di ikuti dalam setiap gerakan-gerakannya, ia harus menjadi pendamping yang mampu membagi semua keresahan yang dialami isteri, dan ia harus menjadi pahlawan yang mampu menyelamatkan isteri dalam situasi yang sulit, dan serta ia juga harus menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya nanti. Karena itu memilih calon suami tidak hanya sekedar suka melainkan karena kehidupan keluarga dibangun berdua dengan suami yang memiliki kualitas dan kuantitas yang mampu mengantarkan isteri kepada surga dunia (ketenangan) dan surga akhirat (kebahagiaan sejati)

Pertama, Bagi wanita yang ingin mencari calon suami, hendaknya mendahulukan agama dan akhlak terlebih dahulu, agama harus menjadi pondasi dan modal utama yang harus digunakan untuk memenuhi kriteria yang sesuai dengan kemauan agama, pasangan yang memiliki pemahaman agama yang kuat akan mampu memenuhi unsur yang lainnya, begitu juga dengan akhlak yang menjadi podasi kedua dalam meng-ikusertakan kriteria agama dalam memilih dan menentukan calon suami yang sesuai.

قَالَ رَجُلٌ لِلْحَسَنِ قَدْ خَطَبَ ابْنَتِيْ جَمَاعَةٌ فَمِمَّنْ أُزَوِّجُهَا؟ قَالَ مِمَّنْ يَتَّقِي اللهَ فَإِنْ أَحَبَّهَا أَكْرَمَهَا وَإِنْ أَبْغَضَهَا لَمْ يَظْلِمْهَا

Artinya, “Seorang laki-laki bertanya kepada Hasan al-Bashri, ‘Banyak orang telah melamar putriku, maka kepada siapa aku harus menikahinya? Ia menjawab: Nikahkanlah dengan seseorang yang bertakwa kepada Allah. Jika ia mencintainya, ia akan memuliakannya. Jika ia membencinya, ia tidak akan menzaliminya.” (Ihya Ulumiddin, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t], jilid II, halaman 41).

Kedua, memilih calon suami atas dasar karena hartanya, tentu harta disini dapat diartikan sebagai pekerjaan atau usaha yang dimiliki calon suami tersebut, mengapa demikian karena suami akan bertanggung jawab soal pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga, karena itu suami diharuskan memiliki ekonomi yang stabil dalam menopang perjalanan rumah tangga. Bila ekonomi di disinergikan dengan agama maka suami tidak akan memberikan nafkah kepada isteri maupun anak dari jalan yang tidak benar.

Ketiga, memilih suami karena kesehatan rohani dan jasmani, islam sangat menaruh perhatian terhadap kesehatan, karena ia merupakan modal utama untuk menjalankan ibadah dengan baik, peran-peran utama sebagai suami dapat dijalankan dengan baik bila memiliki kesehatan jasmani, yaitu calon suami memiliki stamina dan energi yang baik sehingga ia akan mampu menjaga isteri dan anak-anaknya, begitu juga dengan kesehatan rohani yang juga tidak kalah penting, dengan makna bahwa kesehatan rohani yaitu kesehatan mental yang harus dimiliki calon suami, ia harus mempunyai kematangan diri dan kedewasaan diri agar memudahkan beriteraksi dengan lingkungan.

Keempat, memilih suami yang memiliki rasa tanggungjawab, memilih suami dengan dasar karena calon suami dapat bertanggungjawab terhadap pasangannya menjadi alasan yang tepat karena sesungguhnya peran inilah yang diharapkan oleh isteri, calon suami harus benar-benar membuktikan bahwa dia benar-benar layak menjadi seorang suami yang dibuktikan dengan pemenuhan kebutuhan pasangannya seperti pemenuhan terhadap ekonomi, penyediaan tempat tinggal, dapat mendidik anak, membina pasangan dan memberikan pendidikan yang layak bagi calon isteri.

Untuk itu pernikahan adalah institusi penting dalam agama Islam, dimana memilih pasangan juga menjadi faktor yang utama dalam membentuk keluarga yang harmonis, tentram dan damai. Pemilihan pasangan hidup tidak boleh hanya melibatkan fisik dan emosional saja, namun juga harus memperhatikan tiga kriteria yang sangat dalam yaitu Agama, Moral dan sosial, karena pemilihan yang tepat akan berdampak terhadap terbangunanya rumah tangga yang membawa pada generasi yang akan mendatang, ia tidak hanya berperan sebagai anak saja, melainkan dapat menjadi problem solver yang justru memecah kebuntuan terhadap dinamika Agama dan sosial. Maka dengan itu Islam sangat berkepentingan untuk menentukan kriteria yang sesuai dengan backbone alam pikiran Islam. Berkaitan dengan hal ini, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً

Artinya, “Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).” (QS An-Nisa’ [4]: 9).

Pemilihan pasangan suami dan isteri yang baik adalah yang selalu berorientasi pada hal-hal yang jauh kedepan demi terbentuknya keluarga yang memberikan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak. mereka akan membangun keluarga dengan upaya untuk membawa mereka menuju kondisi yang lebih baik, dari segi pendidikan, finansial, dan lain sebagainya. Ia bertanggung jawab penuh dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta penuh kemaslahatan.

Pemilihan pasangan kedepan memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dengan menggunakan pendekatan yang holistik (menyeluruh) dalam pemilihan pasangan, membutuhkan kolaborasi dan sinergi antara orang tua dan anak dalam pemilihan pasangan, karena kunci berjalannya keluarga yang harmonis harus ditopang dengan hubungan yang sehat dan berkelanjutan.

(lam)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 23 Oktober 2025
Imsak
04:02
Shubuh
04:12
Dhuhur
11:41
Ashar
14:51
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan