LANGIT7.ID-Tulisan ini dibuat dalam rangka untuk memberikan pandangan yang lebih konprehensif dari sisi sosial dan pandangan agama, karena bias jadi antara kita masih menemukan kesulitan mendudukan masalah yang selama ini muncul khususnya yang berkaitan dengan perempuan, salah satunya mengenai status kerudung atau jilbab atau nama lainnya.
Dalam kontruksi sosial di Indonesia kerudung dan jilbab dimaknai secara berbeda, kadang dilihat berdasarkan cara menggunakannya atau siapa yang menggunakannya, biasanya kerudung digunakan dalam ruang keseharian yang tidak terlalu formal, sedangkan Jilbab saat ini diarahkan oleh sebagian orang dengan makna yang ekslusif dan ruang formal.
Juga dalam perkembangannya kerudung dan jilbab dimaknai secara ekstrem, seseorang dapat melihat kesolehan perempuan hanya dengan melihat kerudung atau jilbab. perempuan yang menggunakan jilbab dinilai memiliki adab, perilaku, tata karma dan kesopanan yang unggul, sedangkan yang menggunakan kerudung dinilai masyarakat dengan pengetahuan agama yang rendah seperti urakan, minim sopan santun, slengean (Bahasa milenial) dan cenderung negatif (baca juga Safri, 2014)
Kerudung dimaknai oleh masyarakat secara umum berupa kain selendang panjang yang digunakan oleh perempuan muslim untuk menutupi bagian kepala (terkadang dililitkan hingga ke leher) sebagai alat penutup rambut yang digunakan perempuan Indonesia.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jean Gelman Taylor, salah seorang profesor di bidang sejarah dari Universitas New South Wales, Australia mengemukan bahwa tidak ada bukti berupa gambar hijab di foto-foto perempuan dimasa lampau misal perempuan Aceh pada tahun 1880-an and 1890-an.
Juga dalam sejarah di Indonesia, beberapa pahlawan perempuan Indonesia tidak semua memakai hijab di masa lalu, banyak di antara pahlawan perempuan muslim justru tidak memakainya. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian hijab adalah sebuah pilihan personal.
Di Indonesia Penamaan kerudung awalnya lebih familiar ketimbang istilah Jilbab. Beberapa perempuan muslim mulai menggunakan kerudung (semacam kain selendang untuk menutup kepala) hingga masa Orde Baru. Kerudung yang menjadi identitas keagamaan tertentu, kemudian dilarang karena adanya isu nasionalisme yang berlebihan. Pasca era reformasi sampai sekarang, akhirnya kebebasan untuk menggunakan hijab menjadi semakin berkembang, setidaknya ada variasi penamaan diantara perempuan antara lain Jilbab, Kerudung, Pashmina dan lain-lain.
Jilbab dan Euforia Hijrah Selebriti hingga politisi perempuanTernyata penggunaan Jilbal mulai kembali tren (viral) setelah adanya fenomena hijrah selebritis atau public figure, masifnya hijrah artis sepertinya dimanfaatkan oleh industri kapitalis untuk mendulang kepentingannya. Kemudian kata “jilbab” dikonotasikan dengan seorang perempuan yang memahami agama dan dikaitkan dengan wacana halal dan syar’i untuk meningkatkan nilai jual sebuah komoditas tertentu. Bergeser kepada beragam brand yang dikeluarkan menjadi produk khusus untuk perempuan berhijab seperti Sunslik dan Rejoice adalah dua produk sampo awal yang membawa narasi halal. Setelah iklan ini, muncullah berbagai brand yang ikut membuat produk khusus hijab lengkap dengan narasi halal.
Munculnya fenomena brand fashion muslim sendiri dengan harga yang cukup tinggi di pasaran. Setiap selebriti yang berjilbab ini jika diamati memiliki pola yang mirip. Pertama mereka akan mulai mengunggah wajah berjilbab di media.
Konstruksi sosial tentang jilbab juga didukung oleh bagaimana media membingkai dan mengonstruksikan wacana ini. Salah satu fenomena yang turut membentuk presepsi masyarakat dalam mengonstruksikan jilbab adalah film Ayat-Ayat Cinta 1 yang tayang pada 2008.
Setelah menjadi tren berbusana dan film, wacana jilbab terus berkembang bersamaan dengan isu yang mengiringinya. Salah satu isu besar yang membuat jilbab dikonstruksikan sebagai alat politik identitas pada peristiwa aksi 212.
Dalam ranah politik kadang juga kerudung dimaknai dengan akumulasi kepentingan untuk mendapatkan atensi atau awareness masyakat agar bersimpati sesuai kepentingannya, penggunaan kerudung sebagai ajaran yang sakral di manifestasikan sebagai kesolehan dimaknai berbeda oleh politisi, biasanya digunakan pada hari-hari besar agama islam atau digunakan saat melakukan kampanye mendapatkan suara (baca juga Handarini, 2015).
Menutup aurat menjadi batasanSecara etimologi, kata hijab berasal dari bahasa Arab yang berarti penghalang, penutup dan pelindung, sarung, kemeja, kerudung/selendang. Kita dapat membaca satu pandangan al-Qurthubi yaitu pakaian yang lebih besar dari kerudung yang dapat menutupi seluruh badan perempuan.
Namun dari sisi Yusuf Qardhawi memberikan penekanan dan makna yang lebih luas, bahwa hijab adalah baju kurung yang menutupi seluruh tubuh wanita kecuali muka dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan (lebih dari sekedar baju biasa dan kerudung). Dan hukumnya wajib bagi setiap wanita menutup auratnya yang ingin keluar rumah untuk suatu kepentingan.
Kontroversi penggunaan jilbab atau kerudung dalam konteks saat ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari perbedaan sudut pandang dalam memahami batasan aurat yang harus ditutup oleh perempuan. Dalam Islam, batas aurat perempuan diatur berbeda-beda, perbedaannya tergantung dengan siapa wanita itu berhadapan.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS Al-Ahzab : 59)
Aurat perempuan ketika berhadapan dengan Allah SWT adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangannya. Ketika berhadapan dengan yang bukan mahramnya ulama sepakat bahwa batasan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan, dan kedua telapak kaki.
Menutup aurat menjadi wajib karena saddu al-dzarī’ah, yaitu menjaga tubuh dari gangguan atau ancaman yang lebih besar. Oleh karena itu, tentu perlu digarisbawahi bahwa kerudung dan jilbab adalah satu alat yang digunakan untuk menutupi keterlihatan sesuatu dalam tubuh sehingga seorang perempuan tersebut merasa aman dan nyaman setelah menutupinya. Itu artinya penggunaan Jilbab atau kerudung bahkan pashmina bukan menjadi landasan utama seseorang menggunakan melainkan pada aspek apakah mampu menjadi penghalang atau penutup agar tidak dilihat oleh orang yang bukan haknya.
Bila kita merujuk pada ayat di dalam Al-Qur’an tentang keimanan seorang perempuan yang ideal makan akan ditemukan satu klasifikasi yaitu perempuan yang selalu konsisten berpegang teguh terhadap keimanannya kepada Allah dan rasul-Nya serta menjaga moralitas dirinya antara lain perempuan yang Berbakti kepada Orang Tua dan Suami, serta perempuan yang menjaga kehormatan diri.
Sehingga penggunaan jilbab atau kerudung tidak dibatasi oleh model-model kain yang muncul akan tetapi dilihat dari sejauh mana kain tersebut membatasi perempuan dalam menutup aurat yang diwajibkan oleh agama untuk menutupinya, hal ini dalam rangka menjaga kemaslahatan perempuan dan masyarakat dimana ia berada. (Pemerhati Fiqih Sosial, Fathor Rohman, M.Ag)
(lam)