Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 13 November 2025
home edukasi & pesantren detail berita

Kolom Fiqih Sosial: Antara Riba dan Konsep bagi Hasil dalam Islam

tim langit 7 Kamis, 13 November 2025 - 05:00 WIB
Kolom Fiqih Sosial: Antara Riba dan Konsep bagi Hasil dalam Islam
Oleh Fathor Rahman Ma.g

LANGIT7.ID-Persoalan nyata kehidupan hampir belum menemukan jalannya sendiri, terdapat masih sulitnya masyarakat menyelesaikan setiap masalah yang dialami, mulai dari masalah sosial, ekonomi, lingkungan dan hal lain yang berkaitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak jarang sampai terjebak pada hal-hal yang dilarang karena adanya kebutuhan yang sangat fundamental. Disisi lain hal ini berbanding lurus dengan keharusan seseorang yang beragama untuk patuh terhadap ajaran agama dalam setiap kondisi apapun yang sedang di hadapinya, Namun semua masalah yang terjadi tentu tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja, karena khawatir masalah yang dihadapi semakin rumit untuk diselesaikan.

Diantara banyaknya masalah yang dihadapi saat ini yang lebih menonjol adalah persoalan ranjau riba yang ada di mana-mana. Ia hampir ada berbagai sendi kehidupan manusia. Jebakan riba sudah masuk pada sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dan perdagangan. Bahkan, sudah masuk pada wilayah ibadah seperti pendaftaran calon jamaah haji dengan sistem pinjaman bank (dana talangan) untuk setoran awal, yang di dalamnya terdapat unsur riba.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis data kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) gross pada Mei 2025 mengalami kenaikan menjadi 2,29 persen dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,24 persen. Sekaligus OJK mencatat mencatat outstanding pembiayaan dari industri fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) mencapai Rp90,99 triliun per September 2025.

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Antara Fatherless, Daddy Isue dan Peran Ayah Dalam Islam

Bahkan praktek riba sudah di tawarkan diberbagai macam platform media untuk mengambil perhatian publik agar bersedia untuk menjadi bagian dalam prakteknya, juga kadangkala dilakukan secara konvensional dengan datang ke rumah-rumah menawarkan produk disertai bujukan dan rayuan. Misal, kredit murah dapat berhadiah, pinjaman bunga ringan tanpa jaminan, kartu kredit yang praktis dan aman untuk melakukan berbagai transaksi, dan sebagainya.

Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap persoalan ini, dimana hal ini berkaitan erat dengan ajaran agama dan kehidupan sehari-hari. termasuk di dalamnya masalah ekonomi, di mana riba menjadi salah satu isu krusialnya.

Definisi Riba
Riba dalam makna yang sederhana diartikan dengan suatu tambahan lebih dari modal asal, biasanya transaksi riba sering dijumpai dalam transaksi utang piutang dimana kreditor (yang memberi pinjaman) meminta tambahan dari modal asal kepada debitur (yang mendapatkan pinjaman) Sebagai Firman Allah dari Surat Ar-Ruum: 30-39

وَمَا آتـَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيـَرْبـُوَ فيِ أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يـَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ

Artinya
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” (Ar-Ruum 30: 39).

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal sebagimana yang dikutip oleh Muhammad Syafi’i Antonio, riba adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. apabila tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga atau pinjaman) atas penambahan waktu yang telah diberikan.

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Resilience Pernikahan Milenial Menuju Keluarga sakinah

Sedangkan riba dalam perspektif helmi karim dalam bukunya Fikih Muamalah yang mengartikan adanya kelebihan baik itu kelebihan dalam bentuk barang, maupun uang, seperti dua rupiah sebagai penukar satu rupiah. Riba berarti kelebihan atau pertambahan dan jika dalam suatu kontrak penukaran barang yang di minta sebagai penukaran satu barang yang sama, hingga di sebut dengan riba.

Bahkan Riba dalam Bahasa Arab berarti tambahan, walau sedikit yang melibihi dari pada modal pokok yang di pinjamkan, sehingga banyak yang mengatakan sangat tidak mungkin sistem ekonomi akan berjalan bila tanpa ada bunga, dan mungkin dalam realisasinya agak kesulitan dan tidak realistis bila ini diterapkan. Namun nyatanya agama tetap tidak memperbolehkan praktek yang seperti ini untuk dilakukan.

Riba dan ketimpangan Ekonomi
Dalam perspektif ekonomi, riba dapat berdampak signifikan pada stabilitas ekonomi. Salah satu dampaknya mungkin ketidakmerataan distribusi kekayaan, di mana pihak-pihak yang memiliki sumber daya lebih besar dapat semakin menambah kekayaan melalui bunga, sementara pihak yang membutuhkan dana menjadi semakin terbebani oleh utang. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena masyarakat miskin yang terlilit utang sulit untuk keluar dari kemiskinan, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan sosial.

Sebagaimana pendapat Ahmad Bahauddin Nursalim atau dikenal dengan Gus Baha juga menyinggung berkaitan dengan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akibat riba. Ia menyatakan bahwa selagi yang kaya terus menghisap yang miskin melalui sistem berbunga, maka kemiskinan akan selalu ada. Bahwa kemelaratan itu akan jalan terus jalan selagi yang kaya masih menghisap yang miskin.

Menurut Agustianto, seperti yang dikutip Mashuri dalam analisisnya tentang riba, terdapat sejumlah dampak yang ditimbulkan oleh praktik riba, yaitu: 1) Riba memiliki potensi besar untuk menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. 2) Keberadaan riba memperburuk ketimpangan pertumbuhan ekonomi masyarakat secara terus-menerus. 3) Dalam teori ekonomi, suku bunga dianggap dapat menjadi salah satu faktor utama yang memicu inflasi secara signifikan.

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Memilih pasangan Ideal di tengah masyarakat Materialistik

Pelarangan riba dalam ajaran Islam berakar pada upaya untuk menciptakan keadilan sosial, di mana setiap individu, khususnya mereka yang memiliki kekuatan ekonomi lemah, tidak dieksploitasi. Riba dianggap memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, di mana kelompok yang tidak mampu harus membayar lebih untuk memenuhi kebutuhan mereka, sementara pihak yang lebih kuat dalam ekonomi justru memperoleh keuntungan lebih. Hal ini mengarah pada kesenjangan yang semakin dalam antara golongan kaya dan miskin, yang berdampak pada ketidakstabilan sosial dan ekonomi.

Fazlur Rahman, berpendapat bahwa penyebab dilarangnya riba karena lebih mengandung unsur eksploitasi terhadap kaum fakir miskin daripada faktor bunganya (tambahan). Eksploitasi ini dilakukan melalui bentuk pinjaman yang mengakibatkan kesengsaraan pihak lain. Larangan riba dalam al-Qur’an pada dasarnya berkaitan dengan cita-cita mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dampak riba dalam ekonomi Islam tidak hanya terbatas pada ketidakadilan sosial, tetapi juga memengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Ketergantungan yang tinggi pada utang, yang seringkali disertai bunga, dapat menciptakan kondisi ekonomi yang rapuh dan rawan krisis.

Riba dalam perspektif Islam
Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah Dzat yang menciptakan kita. Dialah yang paling mengetahui kemaslahatan kehidupan para hamba -Nya. Oleh karena itu, -Dia mengharamkan riba dengan berbagai ragam dan penamaannya di dalam firman-Nya,

قال الله تعالى: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ وَٱتَّقُواْ ٱلنَّارَ ٱلَّتِيٓ أُعِدَّتۡ لِلۡكَٰفِرِينَ وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ [ آل عمران: 130- 132]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” [al-‘Imran/3: 130-132]

Selain itu, Allah memberikan peringatan bahwa harta yang diperoleh melalui riba tidak akan diberkahi. Dalam QS. Al-Baqarah: 276, Allah berfirman:

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ

Artinya : "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah."

Menurut Syekh Nawawi, ayat diatas menunjukkan bahwa harta yang diperoleh melalui riba akan hancur di dunia dan tidak diterima di akhirat. Sebaliknya, shadaqah dan zakat akan membawa keberkahan bagi pemiliknya, baik di dunia maupun akhirat.
Bahkan, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga menegaskan tentang keharaman riba di dalam sabdanya,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ،وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِ تَالِ الْمُؤْمِنَاتِ » [ متفق عليه ]

“Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam?” Beliau menjawab“, Mempersekutukan Allah , sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh selain dengan alasan yang haq, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh wanita-wanita mukminat (yang menjaga kehormatan) berbuat zina.” (Muttafaqunalaih dari dari Abu Hurairah)

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Sugar Daddy dan Realitas Masyarakat Modern

Sedangkan menurut Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Riba yang memfatwakan tentang haramnya riba dalam segala bentuk dan melarang umat Islam untuk terlibat dalam praktik riba, baik sebagai pemberi pinjaman maupun peminjam. Sedangkan menurut Fatwa DSN-MUI melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) telah mengeluarkan berbagai fatwa terkait dengan riba, termasuk fatwa tentang akad syariah yang dapat digunakan untuk menghindari riba dalam transaksi keuangan.

Konsep bagi hasil sebagai jalan keadilan
Sebetulnya prinsip ekonomi Islam dioerientasikan pada keadilan, bukan pada eksploitasi. Sebagaimana pendapat Gus Baha mengingatkan bahwa praktik riba yang terus dibiarkan akan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin besar. Oleh karena itu Islam telah memiliki konsep keuangan yang lebih manusiawi, seperti sistem bagi hasil yang lebih adil dibandingkan dengan sistem bunga yang hanya menguntungkan pihak tertentu.

Dalam hukum Islam penerapan bagi hasil harus memperhatikan prinsip At Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Konsep Bagi Hasil (Profit Sharing) adalah mekanisme keuangan yang sangat penting dalam Islam dan semakin diakui sebagai model alternatif yang berorientasi menuju keuangan yang berkeadilan (terutama keadilan distributif). Berbeda dengan sistem bunga (riba) yang menetapkan imbal hasil pasti tanpa memandang hasil usaha, sedangkan sistem bagi hasil ditanggung bersama antara risiko dan keuntungan bagi penyedia modal (shahibul mal) dan pengelola dana (mudharib).

Kemudian konsep bagi hasil dikenal di dalam Islam dikenal dengan istilah Syirkah yang artinya campur atau percampuran. Maksud percampuran disini ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Akad syirkah juga sama dengan syarikat dagang yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan menyerahkan modal masing-masing dimana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.

Dasar hukum musyarakah dapat dilihat dalam AlQur’an surat Sad (38) ayat 24:

قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ اِلٰى نِعَاجِهٖۗ وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاۤءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيْلٌ مَّا هُمْۗ وَظَنَّ دَاوٗدُ اَنَّمَا فَتَنّٰهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهٗ وَخَرَّ رَاكِعًا وَّاَنَابَ

Dia (Daud) berkata, “Sungguh, dia benar-benar telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (digabungkan) kepada kambing-kambingnya. Sesungguhnya banyak di antara orang-orang yang berserikat itu benar-benar saling merugikan satu sama lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan sedikit sekali mereka itu.” Daud meyakini bahwa Kami hanya mengujinya. Maka, dia memohon ampunan kepada Tuhannya dan dia tersungkur jatuh serta bertobat.
Dan sebagaimana hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasululah saw berkata: Artinya “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman: Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.” (Riwayat Abu Daud dan Hakim).

Baca juga: Kolom Fiqih Sosial: Logika Agama Terhadap Perubahan Era 5.0

Secara umum konsep ekonomi dalam Islam bertumpu pada keadilan, dengan tujuan untuk mencegah kesenjangan sosial yang disebabkan oleh ketimpangan ekonomi. Oleh karena itu, dalam keadilan ekonomi bergantung pada prinsip-prinsip etika dan ajaran Islam yang membuatnya kuat, karena tanpanya keadilan akan menjadi lemah dan konsep persaudaraan tidak akan ada (Sofyan, 2019).

Dalam sistem bagi hasil, orang yang bekerja sama diharuskan untuk bertindak adil dan tidak berbuat zalim. Allah SWT melarang ketidakadilan dalam segala bentuk bisnis dalam Islam terhadap hamba-hamba-Nya. Seorang muslim yang baik pasti tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama. Seseorang yang tidak menjunjung keadilan dalam melakukan pembagian usaha, tidak mungkin usahanya akan berkembang. Oleh karena itu, keadilan menjadi prinsip yang harus ditegakkan dalam sistem bagi hasil (Muhammad & Baharuddin, 2021)

Islam juga memandang nilai keadilan bentuk perhatian terhadap persamaan hak individu dan memberikan hak tersebut kepada setiap pemiliknya. Untuk menciptakan rasa keadilan dalam bidang ekonomi, maka dalam kerja sama yang dilakukan oleh masyarakat, Islam telah menetapkan sistem yang berkeadilan yang dikenal sebagai “bagi hasil”.

Untuk itu saat ini tantangan terbesar dalam menerapkan sistem ini adalah pola pikir masyarakat yang sudah terbiasa dengan bunga. Banyak orang yang merasa bahwa sistem ekonomi tanpa riba adalah sesuatu yang tidak realistis.(pemerhati fiqih sosial)

(lam)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 13 November 2025
Imsak
03:56
Shubuh
04:06
Dhuhur
11:40
Ashar
15:01
Maghrib
17:52
Isya
19:04
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan