Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Selasa, 11 November 2025
home masjid detail berita

Relativitas Waktu dalam Pandangan Al-Quran

miftah yusufpati Rabu, 05 November 2025 - 05:59 WIB
Relativitas Waktu dalam Pandangan Al-Quran
Bagi manusia, waktu adalah garis lurus yang mengalir dari masa lalu ke masa depan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Setiap orang tahu waktu tak bisa diulang. Tapi tak semua menyadari bahwa waktu, seperti halnya ruang, ternyata relatif. Demikian tafsir Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an. Ia menulis: manusia memang hidup dalam waktu, tapi waktu yang mereka rasakan bukan satu-satunya bentuk waktu yang ada.

Kesadaran manusia tentang waktu lahir dari pengalaman empiris—dari terbit dan tenggelamnya matahari, dari hitungan hari, bulan, dan tahun. Al-Qur’an mengakui sistem perhitungan ini. “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan,” (QS At-Taubah [9]: 36). Tapi pada saat yang sama, Al-Qur’an memperkenalkan sesuatu yang lebih rumit: relativitas waktu.

Relativitas itu pertama-tama muncul dalam kisah Ashhabul-Kahfi—para pemuda yang ditidurkan Allah selama tiga abad lebih. Saat bangun, mereka menduga hanya tertidur “sehari atau setengah hari.” (QS Al-Kahfi [18]: 19).

Bagi mereka, waktu berhenti berjalan. Tapi bagi dunia di luar gua, tiga ratus tahun telah berlalu. “Dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi,” tulis Quraish Shihab. Waktu, dalam pengertian ini, tak lagi linier. Ia bergantung pada keadaan, ruang, dan pelaku.

Tuhan di Luar Dimensi

Relativitas waktu mencapai puncaknya ketika Al-Qur’an berbicara tentang Allah sendiri. Dalam QS Al-Nahl [16]: 1, Allah berfirman: “Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.”

Bagi manusia, hari kiamat belum terjadi. Tapi bagi Allah, yang berada di luar dimensi waktu, ia telah “datang.” Dalam bahasa Quraish Shihab, “bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa depan sama saja.”

Inilah sebabnya, waktu dalam Al-Qur’an bukan ukuran absolut. Ia elastis, bergantung pada posisi pengamatnya—sebuah konsep yang dalam fisika modern disebut relativitas.

Ketika Al-Qur’an menyebut perjalanan malaikat, kita menemukan dua angka yang tampak bertentangan: “Malaikat dan Jibril naik kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun,” (QS Al-Ma’arij [70]: 4). “Urusan naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu,” (QS Al-Sajdah [32]: 5).

Mengapa satu hari bisa berarti seribu tahun—atau bahkan lima puluh ribu tahun? Quraish Shihab menjawab dengan sederhana: “Perbedaan sistem gerak menyebabkan perbedaan waktu.” Seperti batu, suara, dan cahaya yang menempuh jarak sama dalam waktu berbeda, demikian pula waktu malaikat tidak sama dengan waktu manusia.

Di ujung semua perbandingan itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa hanya Allah yang tak terikat waktu. “Perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS Al-Qamar [54]: 50).

“Apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! maka terjadilah ia.” (QS Ya-Sin [36]: 82).

Namun Quraish Shihab mengingatkan: ayat-ayat ini bukan berarti penciptaan terjadi tanpa proses. Ia hanyalah cara Al-Qur’an mengajarkan bahwa Tuhan berada di luar batas waktu—tak membutuhkan sebab, tak menunggu akibat.

Tahun yang Tak Sama

Relativitas juga menjelma dalam hal yang lebih konkret: ukuran “hari” dan “tahun.” Al-Qur’an menyebut Nabi Nuh hidup di tengah kaumnya selama 950 tahun (QS Al-Ankabut [29]: 14). Tapi, tulis Quraish Shihab, angka itu tak harus dipahami dalam hitungan syamsiah (matahari) atau qamariah (bulan). Ada masa ketika manusia menghitung “tahun” berdasarkan pergantian musim—empat kali lipat lebih cepat dari tahun matahari. Maka umur Nuh bisa jadi “hanya” sekitar 230 tahun dalam hitungan kita.

Begitu pula dengan kisah Ashhabul-Kahfi. Al-Qur’an mencatat: “Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.” (QS Al-Kahfi [18]: 25).

Tiga ratus tahun itu menurut perhitungan matahari (syamsiah), sedangkan tambahan sembilan tahun adalah selisih dengan perhitungan bulan (qamariah). Perbedaan sebelas hari tiap tahun selama tiga abad menghasilkan selisih 3.300 hari—atau sembilan tahun penuh.

Waktu yang Melengkung

Dari semua ayat dan penafsiran itu, Quraish Shihab menarik simpulan: waktu, dalam pandangan Al-Qur’an, tidak kaku. Ia lentur, bergantung pada ruang, keadaan, dan makhluk yang menjalaninya. Dalam kehidupan manusia, ia berjalan dari detik ke detik; dalam kehidupan malaikat, mungkin melompat ribuan tahun dalam sekejap.

Kesadaran ini menuntun manusia untuk rendah hati. Karena jika waktu saja tidak mutlak, apalagi kesombongan manusia yang hidup di dalamnya?

Waktu, kata Al-Qur’an, adalah ciptaan, bukan pencipta. Ia hanya berjalan karena diperintah. Dan ketika Sang Pemilik berkata “Kun!”—jadilah—semua dimensi berhenti, dan waktu pun tak lagi punya arti.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Selasa 11 November 2025
Imsak
03:56
Shubuh
04:06
Dhuhur
11:40
Ashar
15:00
Maghrib
17:51
Isya
19:04
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan