Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 27 November 2025
home masjid detail berita

At-Tashwir atawa Melukis dalam Perspektif Islam

miftah yusufpati Kamis, 27 November 2025 - 15:12 WIB
At-Tashwir atawa Melukis dalam Perspektif Islam
Seni bukan lagi soal boleh atau haram belaka. Ia menjadi cara manusia menghayati alam, menjaga keseimbangan, dan memantulkan keindahan ciptaan tanpa merusaknya. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Di tengah meningkatnya kesadaran ekologis, perdebatan tentang at-tashwir atau kegiatan menggambar dan membuat rupa kembali muncul dalam wacana publik. Bukan saja soal hukum menggambar makhluk hidup, tetapi juga bagaimana seni visual membentuk cara manusia memperlakukan lingkungan. Dalam banyak kajian, termasuk yang dirangkum Syaikh Yusuf Qaradawi dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an & Sunnah, konsep tashwir di dalam Al Qur’an justru dimulai dari pengakuan bahwa Allah adalah mushawwir: pemberi rupa, pemahat kehidupan.

Ayat-ayat seperti Ali Imran:6, At-Taghabun:3, dan Al-Infithar:7–8 menegaskan bahwa penciptaan bentuk adalah hak prerogatif Allah. Manusia menerima rupa, bukan menciptakannya. Di titik ini pula sebagian ulama klasik berhati-hati menilai aktivitas menggambar. Namun peringatan itu lebih dekat pada konflik lama antara tashwir dan ibadah berhala, bukan soal seni visual dalam pengertian modern.

Al Qur’an sendiri membedakan dua konteks patung. Patung-patung yang disembah kaum Ibrahim dikutuk karena menjadi obyek kultus, mengikis tauhid dan mengubah bentuk estetika menjadi ritual sesat. Namun pada kisah Sulaiman, patung justru hadir sebagai bagian dari karunia teknologi dan kreativitas. Jin yang bekerja di bawah perintahnya membuat gedung dan patung besar, tanpa celaan apa pun. Sebagian mufasir, seperti al-Qurtubi dan Ibn Kathir, menafsirkan bahwa patung-patung itu bukan untuk disembah, melainkan dekoratif atau fungsional—sesuatu yang dibolehkan selama tak melanggar prinsip tauhid.

Dikotomi ini menarik ketika disandingkan dengan penelitian modern tentang visualitas dalam Islam. Ahmad al-Faruqi, misalnya, menunjukkan bahwa seni rupa Islam cenderung diarahkan untuk menjaga kesadaran transendental: tidak membiarkan manusia terjebak pada kultus bentuk. Sementara antropolog seperti Finbarr Barry Flood dan Oleg Grabar menelusuri bagaimana larangan figuratif di ruang ibadah justru mendorong tumbuhnya seni nonfiguratif, kaligrafi, dan geometri—seni-seni yang dinilai selaras dengan harmoni alam.

Dalam konteks lingkungan, etika tashwir menyentuh ranah lebih luas dari sekadar hukum gambar. Pemikir ekoteologi Islam seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa seni adalah cara manusia mencerminkan keteraturan alam. Rupa yang manusia ciptakan semestinya mendidik, bukan merusak. Dengan kata lain, akhlak visual berkelindan dengan akhlak ekologis. Seni yang memuliakan ciptaan dapat memperkuat kesadaran ekologis, sementara visualisasi yang eksploitatif bisa mengikis empati terhadap alam.

Di banyak negara Muslim, pendekatan ini mulai terlihat dalam gerakan seni lingkungan. Penelitian kontemporer yang diterbitkan dalam Journal of Islamic Environmental Studies menemukan bahwa karya visual bertema konservasi—dari mural hingga instalasi publik—lebih mudah menggugah kesadaran warga muda dibanding kampanye verbal. Seni berperan sebagai jembatan emosional antara manusia dan ekosistemnya.

Debat hukum tetap berlangsung, terutama mengenai representasi makhluk hidup secara realistis. Tetapi para sarjana seperti Khaled Abou El Fadl menekankan pentingnya membedakan konteks ibadah dari konteks budaya. Ia menegaskan bahwa larangan keras dalam hadis-hadis tertentu lahir dari kekhawatiran terhadap praktik pemujaan, bukan penolakan terhadap ekspresi artistik itu sendiri. Ketika konteks berubah, etika pun perlu diperhalus tanpa mengingkari prinsip akidah.

Pada akhirnya, pembacaan utuh terhadap tashwir menunjukkan bahwa Islam tidak memusuhi seni rupa, melainkan memintanya memikul beban moral: tidak meniru Allah sebagai pencipta kehidupan, tidak menurunkan martabat manusia menjadi penyembah benda, dan tidak mengabaikan hubungan antara estetika dan etika. Dalam era krisis iklim, tugas itu menjadi semakin relevan.

Seni bukan lagi soal boleh atau haram belaka. Ia menjadi cara manusia menghayati alam, menjaga keseimbangan, dan memantulkan keindahan ciptaan tanpa merusaknya. Dari mushawwir di langit hingga pelukis di bumi, keindahan tetap menjadi amanah.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 27 November 2025
Imsak
03:56
Shubuh
04:06
Dhuhur
11:44
Ashar
15:08
Maghrib
17:57
Isya
19:11
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan