LANGIT7.ID- Ucapan haram pernah menjadi rem paling kuat dalam tradisi keilmuan Islam. Ia bukan sekadar label moral, melainkan keputusan berat yang mengandung konsekuensi kosmis: menetapkan bahwa sebuah perbuatan berpotensi menimbulkan murka Tuhan. Karena itu, di masa salaf, kata itu hanya diucapkan setelah menempuh jalan panjang: penelitian dalil, musyawarah, kehati-hatian, serta kesadaran bahwa keliru berarti menyeret nama Allah ke dalam vonis manusia.
Teks peringatan itu kembali menggema lewat kutipan-kutipan ulama besar yang dikumpulkan Yusuf Qaradawi dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an & Sunnah. Dalam salah satu bagiannya, ia mengakhiri pembahasan dengan seruan bagi para penuntut ilmu dan ulama agar ber-muraqabah: mengawasi diri di hadapan Allah sebelum lidah melontarkan kata haram.
Imam Malik mungkin yang paling lantang mewanti-wanti. Baginya, keputusan halal dan haram adalah perkara paling berat dalam agama. Ia berkisah tentang ulama di Madinah pada zamannya yang ketika ditanya soal hukum, wajahnya pucat seperti menghadapi kematian. Sebuah kontras yang ia bandingkan dengan generasi setelahnya, yang menurutnya justru mengobral fatwa. Malik menafsirkan gejala itu sebagai lahirnya rasa bangga kosong terhadap ilmu yang belum teruji.
Di masa para sahabat, prosesnya jauh lebih panjang. Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, dan tokoh-tokoh utama lain tak mengambil keputusan sendirian. Mereka mengumpulkan para sahabat, bertukar pandangan, menggali riwayat, sebelum kata hukum keluar dari lisan mereka. Bagi mereka, menurut Malik, terburu-buru berarti keliru, dan keliru berarti bertanggung jawab di hadapan Tuhan.
Kehati-hatian itu bukan hanya etika pribadi, tetapi akhlak lingkungan keilmuan. Para tabi’in pun disebut sangat enggan menyebut halal dan haram. Rabi’ bin Haitsam memperingatkan bahaya menyandarkan keputusan pada Allah tanpa kepastian. Ibrahim an-Nakha’i menambahkan, para guru mereka lebih suka memakai istilah makruh atau la ba’sa bih daripada memukul palu halal–haram secara mutlak.
Di abad modern, kecenderungan serupa muncul dalam bentuk lain. Dalam ceramah singkat, komentar media sosial, bahkan dalam buku-buku praktis hukum, kata haram meluncur cepat. Padahal, penelitian kontemporer mengenai etika fatwa—misalnya studi Wael Hallaq dalam karya-karyanya tentang evolusi otoritas hukum Islam—menunjukkan bahwa fatwa bukan hanya produk teks, tetapi juga proses sosial: pertimbangan konteks, dampak, dan kehati-hatian epistemik.
Begitu pula dalam kajian lingkungan hidup. Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Fazlun Khalid menekankan bahwa akhlak ekologis memerlukan rasa tanggung jawab yang sama: tidak gegabah menyatakan sesuatu terlarang secara syariat tanpa memahami dampak sosial-ekologisnya. Dalam etika lingkungan, label moral yang keliru dapat merusak gerakan konservasi atau menyesatkan masyarakat. Kehati-hatian menjadi bagian dari adab menjaga keseimbangan ciptaan.
Karena itu, seruan klasik para ulama tampak kembali aktual: di tengah derasnya otoritas yang mendadak, tergesa, dan kadang serampangan, perlu ada rem moral berupa kesadaran bahwa hukum bukan slogan. Halal dan haram bukan permainan kata, tetapi keputusan yang mengikat amanah publik dan tanggung jawab teologis.
Pada akhirnya, ruang kebolehan dalam Islam memang luas—seluas kasih dan kelapangan yang ditunjukkan generasi salaf. Jika dalil tidak tegak, jika ijma tidak kokoh, maka sikap menahan diri justru lebih dekat pada ketakwaan. Sebab yang paling ditakuti para ulama dahulu bukanlah kritik manusia, melainkan kemungkinan bahwa Allah berkata: Engkau mengatasnamakan-Ku tanpa izin-Ku.
(mif)