LANGIT7.ID, Jakarta - Manusia berbeda dengan hewan dengan keistimewaan-keistimewaan yang ia miliki. Di antaranya adalah ilmu dan berbagai keahlian yang merupakan buah akal dan pikiran yang menjadikan manusia berbeda dan karenanya dimuliakan di atas makhluk-makhluk yang lain.
Filsuf muslim, Ibnu Khaldun memosisikan akal sebagai alat dalam diri manusia untuk memahami fenomena kehidupan serta nash-nash Alquran dan hadits. Kolaborasi akal dan wahyu merupakan fondasi dalam pembangunan pemikiran Islam.
Dengan demikian, Islam tidak membiarkan akal berjalan tanpa arah, karena jalan yang merentang di hadapannya bermacam-macam. Dari sanalah kemudian manusia dapat merumuskan berbagai konsep ilmu, hukum, dan menelurkan ragam keahlian yang berguna untuk menjalani hidup yang layak.
Baca Juga: Mengenal Ibnu Khaldun, Bapak Sejarah dan Sosiolog ModernIbnu Khaldun menjelaskan, perkembangan akal manusia sangat dipengaruhi kondisi geografis, lingkungan, adat istiadat, kebudayaan, sosial, hingga keadaan ekonomi suatu wilayah. Ia juga menghubungkan pengaruh makanan terhadap tubuh yang ujung pangkalnya, apakah menutup atau memaksimalkan fungsi akal.
Ibnu Khaldun menyatakan, lapar itu berpengaruh terhadap tubuh dan akal karena lapar akan menjernihkannya dan memperbaikinya. Panganan yang baik dan sehat akan membuat tubuh prima dan menumbuhkan akal pikiran.
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan kesanggupan berpikir manusia ke dalam tiga tingkatan. Pertama, akal pembeda (
al-‘aql ut-tamyizi). Akal ini membantu manusia membedakan mana yang baik dan buruk, bermanfaat atau tidak, pada tahap ini, dapat dikatakan bahwa manusia, dari sisi mental, baru beranjak pada tahapan setingkat di atas dengan binatang.
Baca Juga: Ilmu Pengetahuan Berkembang Pesat Terinspirasi dari Al-QuranKedua, akal eksperimental (
al-‘aql at-tajribi). Ialah pikiran yang melengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang di bawahnya dan mengatur mereka. Pemikiran semacam ini kebanyakan berupa appersepsi–appersepsi (
tashdiqat), yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman hingga benar-benar dirasakan manfaatnya.
Terakhir adalah akal spekulatif (
al-‘aql an nadzari) adalah pikiran yang melengkapi manusia dengan pengetahuan (
‘ilm) atau pengetahuan hipotesis (
dzan), mengenal sesuatu yang berada di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya.
Pada tingkatan ini, manusia dapat memahami suatu objek secara baik dan memiliki suatu persepsi spesifik tentang yang ada atau objek dunia dengan apa adanya, baik yang empiris maupun yang metafisika.
Baca Juga: Mengapa Ulama Terdahulu Menguasai Lintas Bidang Ilmu? Ini Penjelasannya(zhd)