LANGIT7.ID, Jakarta - Wakil Ketua Umum PP Persatuan Islam (Persis), Dr KH Jeje Zaenuddin, menilai, salah satu kendala besar masyarakat Indonesia sulit menyatukan cita-cita bersama lantaran masih ada dikotomi antara kelompok islamis dan nasionalis.
Padahal, kata dia, pemikiran kaum islamis dan nasionalis itu harus disatukan untuk menciptakan persatuan masyarakat secara nyata. Bukan berarti, masyarakat Indonesia belum bersatu, hanya saja masih ada sekat-sekat yang memisahkan antara dua kelompok tersebut.
Meski begitu, menurut Ustadz Jeje, dikotomi itu sudah semakin menyempit. Artinya, tembok pemisah kaum islamis dan nasionalis sudah mulai terkikis oleh kesadaran tentang pentingnya menyatukan keagamaan dan kenegaraan.
Baca Juga; Menyatukan Kenegaraan dan Keagamaan, Kunci Persatuan Indonesia
Menurutnya, dikotomi tersebut lebih banyak berupa stigmatisasi daripada kenyataan. Dia mencontohkan, banyak tokoh-tokoh yang dianggap nasionalis mulai memperdalam agama.
“Makanya sekarang ada fenomena, orang yang tadinya anti islam, saat disentuh, ‘loh kok tidak seperti yagn saya duga (misal, islam dianggap radikal, dll). Akhirnya tertarik mendalami agama,” kata Ustadz Jeje kepada LANGIT7.ID, Kamis (11/8/2022).
Begitupun sebaliknya, yang tadinya menolak pancasila kini menerima sebagai warisan ulama dan pendiri bangsa. Mereka tidak lagi memandang Pancasila sebagai produk
thaghut yang harus ditolak.
“Ada orang yang anti bernegara, menganggap Pancasila itu syirik. Setelah diajak ngobrol, akhirnya terbuka dan paham. Ternyata berubah dan mengatakan, ‘saya tidak mengharamkan Pancasila,” kata Ustadz Jeje.
Titik permasalahan ini ada pada doktrin masing-masing kelompok. Setiap kelompok memberikan stigma buruk kepada pihak lain, sehingga dialog pun tidak bisa terjadi. Tapi, tembok pemisah dialog itu kini mulai runtuh.
Baca Juga: PERSIS: Perpecahan Umat Islam di Indonesia Merupakan Warisan Penjajah
“Di dua pihak ini memang masing-masing ada doktrin, yang menstigma kelompok yang lain. Tapi makin ke sini, makin sedikit. Saya kira, dengan keterbukaan seperti sekarang, insya Allah makin menyempit tiang pemisah ini,” tutur Ustadz Jeje.
Menurut dia, benteng pemisah itu hanya dibangun oleh imajinasi-imajinasi atau presepsi yang salah dari satu kelompok ke kelompok lain. Dengan adanya dialog, masing-masing kelompok akan memahami bahwa beragama dan bernegara tidak akan pernah bisa dipertentangkan.
“Makanya, kapan kita bisa mempercepat proses pembangunan umat dan bangsa secara bersamaan, kalau terus dibebani oleh kecurigaan, oleh kebencian oleh dikotomi itu. Berbangsa dan beragama itu satu kesatuan,” pungkas Ustadz Jeje.
(jqf)