LANGIT7.ID, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan RI, Muhammad Chatib Basri, menilai Indonesia tidak akan mengalami
resesi. Meski begitu, pemerintah Indonesia mesti melakukan langkah antisipasi untuk menghadapi situasi saat ini.
Menurut dia, ekonomi Indonesia memang masih relatif kuat pada 2022. Perlambatan akan terasa pada 2023. Inflasi di Jerman dan Amerika Serikat memaksa Bank Sentral menaikkan suku bunga.
Kontraksi ekonomi di Amerika Serika dan Eropa akan menurunkan permintaan ekspor global, termasuk China. Ekspor Indonesia akan menurun. Situasi akan diperburuk dengan menurunnya harga komoditas, yang selama ini ‘menyelamatkan’ RI.
Dari jalur perdagangan,
resesi global, khususnya perlambatan ekonomi China, akan menurunkan ekspor Indonesia. Namun disisi lain, tensi geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina akan membuat harga batubara relatif tinggi.
Baca Juga: 3 Tips Atur Keuangan saat Hadapi Resesi 2023 Mendatang
“Seberapa besar ekspor kita akan terpukul? Tergantung dari
net effect (efek bersih) penurunan ekspor akibat resesi global dengan kenaikan harga batu bara akibat perang Russia,” kata Chatib di akun twitter-nya, Rabu (12/10/2022).
Ekonomi senior dari Universitas Indonesia itu mengatakan, dampak
resesi global terhadap Indonesia tak akan seburuk dampaknya pada Singapura, atau negara yang berorientasi ekspor. Itu karena porsi ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif kecil dibanding negara-negara yang berorientasi ekspor.
“Kita diuntungkan oleh kurang terintegrasinya kita pada ekonomi global –sesuatu yang sebetulnya tak kita inginkan. Tentu kita harus adil: integrasi yang terbatas pada ekonomi global membuat kita juga nantinya akan pulih lebih lambat, ketika ekonomi global pulih,” ujar Chatib.
Dari jalur keuangan, tampaknya dollar AS masih akan menguat, karena pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik terhadap Eropa. Termasuk rasio harga ekspor dan harga impor AS yang menguat dan dampak kenaikan bunga di AS yang lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Baca Juga: Menkeu: Kinerja Perekonomian Indonesia Impresif di Tengah Krisis
Dalam kondisi seperti ini pilihan kebijakan Bank Indonesia tak banyak yakni menaikkan bunga untuk mengendalikan inflasi serta menjaga kestabilan rupiah dan melakukan intervensi di pasar valuta untuk mencegah volatilitas rupiah.
Dampak dari Taper Tantrum 2.0 kali ini tak seberat 2013, karena share asing dalam obligasi pemerintah Indonesia menurun dari 32% di April 2020 jadi 14.6% September 2022. Ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal yang relatif lebih rendah saat ini, membuat Indonesia relatif stabil
Selain itu, neraca transaksi berjalan juga mengalami surplus. Surplus terjadi karena Covid-19 telah mengakibatkan meningkatnya rasio tabungan/PDB, karena menurunnya konsumsi akibat pembatasan mobilitas.
“Penjelasan lain: kenaikan harga ekspor komoditas dan energi akibat perang Rusia,” ujar Chatib.
Baca Juga: Cegah Resesi, Ekonom Senior INDEF: APBN Harus Diselamatkan
Namun, saat aktivitas ekonomi kembali normal, rasio tabungan/PDB akan menurun, defisit transaksi berjalan naik. Selain itu,
resesi global, akan menurunkan harga komoditas dan energi (di luar batu bara), surplus neraca perdagangan akan menurun. Hal ini berpengaruh kepada nilai tukar
Pelemahan rupiah akan membuat beban utang dalam mata uang dollar AS akan meningkat. Selain itu, ada resiko ketidaksesuaian mata uang (
currency mismatch), jika sebagian besar investasi asing masuk ke sektor dalam negeri, bukan sektor yang berorientasi ekspor.
“Covid-19 membuat aktivitas ekonomi terganggu. Dengan relaksasi restrukturisasi kredit, NPL terlihat rendah. Namun
Loan at Risk (LaR) masih relatif tinggi. Jika relaksasi ini berakhir, ada resiko NPL akan meningkat. Bunga tinggi juga meningkatkan resiko perusahaan dengan utang tinggi,” kata Chatib.
Langkah yang Harus Dilakukan PemerintahPertumbuhan ekonomi melambat dan surplus transaksi berjalan Indonesia tahun depan menurun. Untuk menjaga internal dan
external balance dibutuhkan ekspansi ekspansi fiskal dan pengetatan moneter.
“Masalahnya, kenyataan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia tak semudah preskripsi itu,” ucap Chatib.
Baca Juga: DPR Ingatkan Menkeu Sri Mulyani Tak Anggap Remeh Resesi Ekonomi
Preskripsi Dornbusch dan Swan sulit dilakukan, karena pada 2023, defisit fiskal akan dijaga di bawah 3%. Selain itu, penurunan harga komoditas dan energi (diluar batu bara) akan membuat penerimaan negara 2023 tak akan setinggi 2022.
Kombinasi ini akan membuat fiskal menjadi kontraktif pada 2023. Disisi lain, tekanan inflasi yang terjadi dan kenaikan bunga the Fed akan memaksa Bank Indonesia untuk menaikkan bunga. Bisa dibayangkan dampak kontraksi yang akan terjadi.
“BI dan pemerintah harus menerapkan
policy mix. Pengetatan moneter dilakukan, tapi tidak berlebihan, pelemahan rupiah terjadi, tapi dijaga agar tak terlalu tajam fluktuasinya. Dari sisi fiskal, dengan defisit dibawah 3% tahun 2023, maka alokasi belanja harus semakin tajam,” ujar Chatib.
Baca Juga: Faisal Basri: Ekonomi Islam Bisa Jadi Solusi Inflasi
Program perlindungan sosial menjadi prioritas. Selain itu, belanja harus diarahkan kepada sektor yang memiliki dampak
multiplier yang tinggi. Pemerintah harus memberikan prioritas pada ‘mana yang harus”’dan bukan ‘mana yang ingin’.
“Perkiraan saya ekonomi Indonesia akan melambat, ketidakpastian tinggi, namun Indonesia tak akan mengalami resesi, yang terjadi adalah perlambatan ekonomi. Namun tak ada ruang untuk membuat kebijakan yang salah,” ungkap Chatib.
(jqf)