LANGIT7.ID-- Ulama Fikih
Prof Dr KH Muhammad Ali Yafie (1926 – 2023) mengatakan adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari'at
Nabi Isa as dengan syari'at hukum agama
Yahudi yang lebih dahulu ada.
"Dalam hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad SAW," ujar KH Ali Yafie dalam buku berjudul "
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "
Nasikh Mansukh dalam Al-Quran".
Jadi, menurutnya, adanya
nasikh-mansukh antar syari'at itu merupakan salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu pemerintahan/negara dengan pemerintahan/negara lainnya.
Contohnya, adanya pemerintahan/negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hukum dasar dan hukum-hukum yang langsung berhubungan dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya dicabut dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.
Baca juga: Nasikh Mansukh dalam Al-Quran: Asas dan Pengertian Jika kita sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar-syari'at, apakah di dalam satu syari'at terjadi juga nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya? "Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini," jelasnya.
1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat.
Kasus lain misalnya dalam hal salat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 rakaat. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum salat.
2. Di bidang muamalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu tahun.
Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hukum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
KH Ali Yafie mengatakan dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam.
Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain.
Baca juga: Tafsir di Era Globalisasi: Tiap Daerah Bisa Mengambil Corak dan Bentuk yang Berbeda? Hal seperti ini, jika dilihat dari sudut pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan menetapkan undang-undang atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.
Demikian pula adanya nasikh-mansukh antara satu hadis yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadis yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadis yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.
Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ulama ialah adanya nasikh-mansukh silang antara al-Qur'an dengan Hadis/Sunnah. Jika disimak alasan masing masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki al-Qur'an dan Sunnah dalam syari'at itu sendiri.
Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hukum lainnya yang lebih rendah tingkatannya.
Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi faktor pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syari'at.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan di atas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimni). Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas. [12] Ini contoh dari al-Qur'an.
Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hukum ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, "Pernah aku melarang kalian melakukan ziarah kubur. Sekarang lakukanlah!". [12] Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh yang bersifat dlimni tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya. Jenis seperti inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.
(mif)