LANGIT7.ID-
Jalaluddin Rakhmat mengatakan dari segi prosedur penetapan hukum, ada dua cara yang dilakukan para sahabat. Kedua cara ini melahirkan dua
mazhab besar di kalangan sahabat -- Mazhab 'Alawi dan Madzhab 'Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita sekarang sebagai
Syi'ah dan
ahli Sunnah.
Dalam buku berjudul "
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "
Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh, Dari Fiqh Al Khulafa' Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme", Jalaluddin Rakhmat menjelaskan para sahabat --seperti Miqdad, Abu Dzar, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah dan sebagian besar Bani Hasyim-- merujuk pada ahl al-Bait dalam menghadapi masalah masalah baru.
Mereka berpendapat bahwa ada dua nash yang dengan tegas menyuruh kaum Muslim berpegang teguh pada pimpinan ahl-al-Bait. Lagi pula, menurut mereka, pendapat seseorang menjadi hujjah bila orang itu ma'shum. Ah al-Bait memiliki kema'shuman berdasarkan nash al-Qur'an dan al-Sunnah. (
Al-Jawharah al-Nayyirah; dikutip lagi dari al-Nash wa al-Ijtihad, Qum Abu Mujtaba, 10404 H; hal. 44. Riwayat pelarangan bagian muallaf, lihat Tafsir al-Manar 10:297; Al-Durr al-Mantsur 3:252).
Menurut Muhammad al-Khudlari Bek, fiqh mereka ini hanya terbatas pada qiyas. Menurut Muhammad Salim Madkur, ijtihad mereka menggunakan tiga metode: a). menjelaskan dan menafsirkan nash; b). qiyas pada nash atau pada ijma', dan ijtihad dengan ra'yu seperti al-Mashalih al-Mursalah dan istihsan. Muhammad Ali al-Sais menyebutkan bahwa ijtihad sahabat itu meliputi qiyas, istihsan, al-baraah al-ashliyah, sadd al-dzara'i, al-mashalih al-mursalah.
Baca juga: Ilmu Fikih: Penyebab Ikhtilaf di Kalangan Sahabat Nabi Muhammad SAW Jalaluddin Rakhmat berpendapat, ada tiga tahap dalam ijtihad para sahabat: a) merujuk pada nash al-Qur'an dan al-Sunnah b) menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas, bila nash tidak ada atau tidak diketahui; dan c) mencapai kesepakatan lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.
Pada tahap pertama, para Khulafa al-Rasyidin selain Ali bin Abi Thalib, tampaknya lebih memusatkan perhatian pada ayat-ayat al-Qur'an (atau roh ajaran al-Qur'an) dengan agak mengabaikan (kadang-kadang menafikan hadits).
Jalaluddin Rakhmat lalu mengutip berbagai riwayat berkenaan dengan sikap Khulafa al-Rasyidin pada Hadits (sunnah):
1) Dari Ibnu Abbas: ketika Nabi menjelang wafat, di rumah Rasulullah SAW, berkumpul orang-orang, di antaranya Umar bin Khathab. Nabi berkata: "Bawalah ke sini, aku tuliskan bagimu tulisan yang tidak akan menyesatkanmu selama-lamanya."
Umar berkata: "Nabi sedang dikuasai penyakitnya. Padamu ada Kitab Allah. Cukuplah bagimu Kitab Allah."
Terjadi ikhtilaf di antara orang-orang di rumah itu. Di antara mereka ada yang mengikuti ucapan Umar. Ketika terjadi banyak pertengkaran dan ikhtilaf, Nabi SAW berkata: "Pergilah kamu semua dari aku. Tidak layak di hadapanku bertengkar." [Shaih al-Bukhari, "Kitab al-'Ilam", 1:22. Lihat juga Shahih Bukhari, "Kitab al-Jihad", dan Kitab al-Jizyah", Shahih Muslim Bab "Tark al-Wasyiyyah" Musnad Ahmad, hadits NO. 1935. Thabaqat ibn Sa'ad 2:244, Tarikh Thabari 3:193.]
Baca juga: Ilmu Fikih: Kisah Debat Umar bin Khattab dengan Ammar bin Yasir tentang Junub 2) 'Aisyah meriwayatkan: Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits Rasulullah SAW. Pada suatu pagi ia datang padaku dan berkata: "Bawalah hadits-hadits yang ada padamu itu."
Aku membawanya. Ia membakar dan berkata, "Aku takut jika aku mati aku masih meninggalkan hadits-hadits ini bersamamu," [Tadzkirat al-Huffazh, 1:5; Kanz al-'Ummal, 1:174.]
Al-Dzahabi meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan orang setelah Nabi wafat dan berkata; "Kalian meriwayatkan hadits Rasulullah SAW yang kalian pertengkarkan. Nanti orang-orang setelah kalian akan lebih bertikai lagi. Janganlah meriwayatkan satu Hadits pun dari Rasulullah SAW. Jika ada yang bertanya kepada kalian, jawablah -- Di antara Anda dan kami ada Kitab Allah, halalkanlah apa yang dihalalkannya, dan haramkanlah apa yang diharamkannya" [Tadzkirat al-Huffazh, tarjamah Abu Bakr, 1:2-3.]
3) Al-Zuhri meriwayatkan, Umar ingin menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Ia memikirkannya selama satu bulan, mengharapkan bimbingan Allah dalam hal ini.
Pada suatu pagi, ia memutuskan dan menyatakan: "Aku teringat orang-orang sebelum kalian. Mereka tenggelam dalam tulisan mereka dan meninggalkan Kitab Allah. [Al-Thabaqat al-Kubra, 11:257; Tarikh al-Khulafa, 138.]
Baca juga: Perkembangan Ilmu Fikih: Masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah Umar kemudian mengumpulkan hadits-hadits itu dan membakarnya. Ia juga menetapkan tahanan rumah pada tiga sahabat yang banyak meriwayatkan hadits: Ibn Mas'ud, Abu Darda, dan Abu Mas'ud al-Anshari."
Tradisi pelarangan hadis ini dilanjutkan para tabiin, sehingga di kalangan ahl al-sunnah, penulisan hadis terlambat sampai abad 8 M./2 H. Menurut satu riwayat,
Umar ibn Abdul Aziz (meninggal 719/101) adalah orang yang pertama menginstruksikan penulisan hadis.
(mif)