LANGIT7.ID--Lembah itu kering. Gersang. Tak tampak kehidupan. Di kejauhan, hanya bukit-bukit batu. Tapi di balik sunyi dan tandusnya, sejarah besar pernah ditabur di sana. Sejarah tentang pengasingan, pengabdian, dan pendirian satu bangunan suci yang akan mengguncang dunia: Kakbah.
Cerita tentang
Ibrahim dan anaknya,
Ismail, datang ke lembah yang kini menjadi Makkah, nyaris menjadi konsensus dalam sejarah Islam. Namun bukan tanpa cela. Beberapa sejarawan, termasuk William Muir, sejarawan Inggris abad ke-19, menolaknya mentah-mentah. Menurut Muir, kisah itu hanyalah “Israeliyat”—cerita-cerita Yudaika yang disisipkan belakangan untuk membangun hubungan fiktif antara bangsa Arab dan Ibrani.
Ia menuduh: ini siasat orang
Yahudi. Dengan menjadikan Ismail, putra Ibrahim dari Hajar, sebagai leluhur orang Arab, mereka menciptakan jembatan imajiner dengan bangsa Arab. Tujuannya, agar emigran Yahudi lebih mudah diterima, dan perdagangan mereka di Jazirah Arab menjadi lancar.
"Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah," tulis
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "
Sejarah Hidup Muhammad".
Baca juga: Iduladha di Istiqlal, Fadli Zon Serukan Teladan Nabi Ibrahim dan Perkuat Budaya Bangsa Pendapat ini, meski sempat memengaruhi sejumlah orientalis, sulit diterima oleh banyak cendekiawan Muslim. Argumen baliknya sederhana tapi kuat: jika kisah itu hanya dongeng, mengapa sumber-sumber dari luar Islam, seperti Herodotus dan Diodorus Siculus, menyebut adanya rumah suci yang diagungkan di Makkah jauh sebelum Islam lahir? Apakah rumah itu bukan Kakbah?
Sejarawan Muslim melihat kehadiran Ibrahim dan Ismail di Makkah sebagai bagian dari dinamika sejarah migrasi dan wahyu. Ibrahim, seorang pengembara spiritual, meninggalkan tanah kelahirannya di Ur, Mesopotamia, untuk menyebarkan risalah tauhid. Ia menjelajahi Palestina dan Mesir, lalu membawa Hajar dan Ismail ke sebuah lembah terpencil yang kelak menjadi jantung dunia Islam.
Di sana, kata sumber-sumber Islam klasik, Hajar menemukan mata air yang menyembur, Zamzam. Ismail tumbuh besar dan menikah dengan wanita dari kabilah Jurhum, komunitas Arab kuno yang telah mendiami lembah itu. Dari percampuran darah Ibrani, Mesir, dan Arab lahirlah generasi yang akan mewarisi misi Ibrahim, setidaknya sampai paganisme kembali mencengkeram tanah itu.
Namun William Muir menolak keterkaitan antara ritual-ritual di Kakbah dengan ajaran Ibrahim. Menurutnya, penyembahan berhala yang merajalela di sana menunjukkan tidak adanya jejak monoteisme. Ia menuding: "Itu bukan agama Ibrahim, tapi penyembahan batu, bintang, dan patung."
Tapi di sinilah kritik terhadap Muir menguat. Paganisme Arab, kata sebagian sejarawan Muslim, bukan bukti absennya Ibrahim, melainkan bukti kerusakan ajaran murni yang dibawa sang nabi. Masyarakat Ibrahim sendiri adalah penyembah berhala, dan dakwah beliau di sana pun gagal. Maka, tak mustahil hal serupa terjadi di Makkah: Ibrahim membangun pondasi tauhid, tapi seiring waktu, warisan itu dirusak oleh kaumnya sendiri.
Baca juga: Asal-Usul Kota Makkah dan Kisah Nabi Ibrahim Kakbah yang awalnya menjadi tempat suci penyembah Allah, berubah menjadi pusat pemujaan berhala. Dalam satu fase sejarah, bahkan ada 360 patung berjejer mengelilingi bangunan itu. Orang-orang Arab menyembah batu-batu dari setiap perjalanan, dan meyakini bahwa bintang-bintang adalah manifestasi Tuhan. Agama Ibrahim tergerus oleh budaya lokal dan kebodohan spiritual.
Namun ingatan tentang sang ayah dan anak itu tidak hilang. Qur'an mencatatnya dengan jelas:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan fondasi Baitullah...” (QS Al-Baqarah: 127)
“Sesungguhnya rumah pertama yang dibangun untuk manusia adalah Baitullah di Bakkah (Makkah)...” (QS Ali Imran: 96)
Di sanalah mereka mendirikan rumah suci—yang bukan hanya menjadi pusat ibadah, tapi simbol keesaan Tuhan. Bahwa tempat yang kini dikelilingi jutaan orang setiap musim haji itu, pernah dibangun oleh tangan seorang ayah dan putra dalam sunyi. Di tengah padang pasir, tanpa upacara, tanpa peliput sejarah.
Baca juga: Kisah Nabi Ishaq: Seperti Nabi Ibrahim, Sulit Memiliki Anak Apakah Ibrahim dan Ismail benar-benar menjejakkan kaki di lembah Makkah?
Pertanyaan itu mungkin tak pernah mendapatkan jawaban pasti dari sejarah sekuler. Tapi dalam narasi Qur'an, ia menjadi fakta spiritual yang hidup. Sebuah keyakinan yang, bahkan jika diragukan oleh akademisi, tetap berdetak dalam setiap putaran thawaf, dalam setiap air Zamzam yang diteguk, dalam setiap doa yang dibisikkan di hadapan Kakbah.
Dan mungkin, dalam sunyi lembah itu, gema langkah Ibrahim dan Ismail masih terdengar, bukan oleh telinga, tapi oleh hati yang percaya.
“Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 127)
(mif)