LANGIT7.ID-Di sebuah sudut musala kampus, seorang mahasiswa bertanya dengan serius, “Ustaz, kapan
kiamat datang?” Sang ustaz menghela napas, lalu menjawab dengan seloroh: “Begitu pasir di pantai Laut Merah habis dihitung.” Jawaban itu melegakan dan sekaligus membuat bingung. Tapi di balik guyonan itu, ada pesan yang tak bisa disepelekan: kiamat adalah misteri, namun jejak-jejaknya kian kasatmata.
Hari-hari ini, perbincangan tentang kiamat tak lagi hanya milik mimbar masjid atau kitab tafsir. Ia merembes ke serial Netflix, poster iklan film Hollywood, hingga obrolan WhatsApp grup alumni.
Sering kali, ia datang bukan dalam bentuk pertanyaan teologis, melainkan keluhan sosial: mengapa makin sulit membedakan mana orang baik dan mana yang pandai bersandiwara? Mengapa kesalehan tampak minor, dan kekacauan justru dianggap normal?
Dalam Islam, kiamat bukan sekadar kehancuran total, tetapi hari kebangkitan. Istilah "kiamat" berasal dari akar kata qama-yaqumu, yang berarti "bangkit berdiri." Ia adalah momen ketika semua manusia dihimpun untuk mempertanggungjawabkan hidup mereka. Namun sebelum itu, akan ada tanda-tanda. Dan sebagian di antaranya kini sedang mampir di depan pintu.
Baca juga: Kiamat yang Tak Melulu Menakutkan: Tafsir Spiritual yang Menghibur dan Menenangkan Tanda-Tanda dari Langit dan BumiHadis-hadis Nabi Muhammad menyebut dua jenis tanda: tanda sosial dan tanda alam. Dalam kategori pertama, peradaban tampak kehilangan urat malu.
Perzinahan bukan lagi dilakukan sembunyi-sembunyi, melainkan menjadi komoditas terbuka, baik dalam bentuk konten digital maupun layanan jasa.
Orang jahat lebih menonjol ketimbang orang baik; bukan karena jumlahnya lebih banyak, tapi karena mereka lebih gaduh, lebih nyaring, dan lebih dielu-elukan. Sementara mereka yang lurus malah dianggap kolot atau kurang relevan.
Di sisi lain, gejala alamiah pun tak kalah mencemaskan. Matahari suatu hari disebut akan terbit dari barat, suatu anomali kosmik yang mustahil secara ilmu hari ini, tapi bisa menjadi simbol bahwa segala keteraturan bisa dibalikkan.
Binatang melata keluar di pagi hari, pertanda panas bumi tak lagi tertahan. Bagi masyarakat desa, keluarnya ular dari lubang adalah peringatan akan gempa atau letusan. Teknologi belum tentu bisa mengalahkan insting purba.
Tak semua tanda ini bisa ditafsir harfiah. Sebagian ulama melihatnya sebagai kode sosial. Pasar yang sepi bukan semata akibat inflasi, tapi juga gambaran betapa hubungan antarmanusia kini lebih banyak ditentukan algoritma ketimbang kepercayaan. Hujan yang jarang dan tanaman yang tak tumbuh bukan sekadar masalah cuaca, tapi simbol bumi yang tidak lagi diberkahi. Ekonomi berbasis riba meluas, dan para pemilik modal—alih-alih para ulama—menjadi tokoh yang dimuliakan.
Baca juga: Kiamat dan Kemunculan Dajjal: Kisah Safi ibn Sayyad Dunia yang Membalik Akal SehatSituasi ini pernah disinggung dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim. Di sana disebutkan, salah satu tanda kiamat adalah orang-orang fasik mengisi mimbar masjid. Di dunia yang terbalik, yang berbicara atas nama Tuhan bukan yang takut kepada-Nya, melainkan yang paling nyaring bersuara dan lihai bersilat kata. “Tanda-tanda ini,” kata seorang pengamat tafsir, “bukan hanya ramalan. Ia adalah kritik sosial.”
Kiamat, dengan demikian, bukan sekadar peristiwa langit runtuh dan bumi terbelah. Ia adalah puncak dari krisis spiritual yang berlangsung lama. Jika orang jahat lebih disukai karena lucu, kaya, atau viral, dan orang jujur dituduh naif, maka kiamat tak perlu ditunggu dalam bentuk meteor jatuh. Ia sudah berjalan—pelan, sunyi, tapi pasti.
Sudah Terjadi?Pertanyaannya kini: apakah semua tanda itu sudah terjadi? Jawaban umum para ulama adalah: sebagian besar sudah. Karena itu, saran paling waras bukan lagi menghitung hari, tapi memperbaiki diri. Bertobat, minta maaf pada sesama, dan berbuat baik bukan hanya sebagai ritual personal, tapi sebagai tindakan melawan arus kehancuran moral.
Di tengah dunia yang membuat kesalehan terasa asing, menjadi orang baik adalah perjuangan. Tapi seperti kata seorang kiai di desa: “Kalau kiamat sudah dekat, itu artinya kita lebih dekat dengan Tuhan. Bukankah itu kabar baik?”
Dan bila memang benar kiamat datang esok hari, maka hari ini adalah waktu terbaik untuk berdiri tegak. Atau meminjam istilah Qur’ani: yaumun yaqumun naas, hari di mana manusia bangkit berdiri.
Baca juga: Tak Seorang pun yang Mengetahui Kapan Kiamat Terjadi(mif)