LANGIT7.ID-
Nasruddin Hoja selalu punya cara mengecoh yang bijak. Ketika seorang raja bertanya tentang tanggal pasti
hari kiamat, sang sufi eksentrik itu menjawab enteng, “Kerahkan rakyat menghitung butir pasir di Pantai Laut Merah, baru aku bisa jawab.”
Raja bungkam. Humor satir Nasruddin menyampaikan satu pesan terang: tak seorang pun, bahkan seorang raja, berhak mengklaim wangsit soal hari akhir.
Begitu pula
Al-Qur’an. Ia dengan tegas menyatakan bahwa kepastian hari kiamat hanya diketahui Allah. Sains boleh memprediksi tabrakan asteroid, pergeseran tektonik, bahkan laju pencairan es kutub, tapi tak satu pun mampu menembus ruang rahasia yang bernama as-sa’ah, detik kiamat.
Dan barangkali, itu sebabnya kita justru lebih takut.
Di layar-layar lebar, kiamat selalu hadir dalam rupa ledakan dan runtuhan: kota-kota luluh, gunung meletus, manusia berlarian panik seperti kutu disemprot racun. Dari Armageddon hingga 2012, Hollywood menjual ketakutan kolektif yang berakar pada imajinasi destruktif.
Baca juga: Kiamat dan Kemunculan Dajjal: Kisah Safi ibn Sayyad Tapi tafsir Islam memberikan versi lain. Dalam kata “kiamat” sendiri, terkandung makna “berdiri”, bangkit. Kiamat bukan murni kehancuran, melainkan kebangkitan menuju fase baru: akhir dunia, awal akhirat.
Di hari Jumat, kita sering dengar muadzin berseru, “Aqimis shalah”. Bangkitlah. Berdirilah. Maka kiamat adalah seruan paling agung dalam sejarah kosmos: saat manusia dipanggil untuk bangkit, bukan sekadar untuk dihukum, melainkan untuk disidang, dan—bagi yang layak—untuk menang.
Hari yang Dinanti Orang SalehTak semua orang gentar menyambut hari itu. Bagi sebagian umat beriman, kiamat adalah semacam reuni akbar penuh kehangatan. Dalam istilah Al-Qur’an, ia punya banyak nama.
Hari Pembalasan, misalnya. Maliki yaumiddin. Saat setiap manusia memanen hasil amalnya. Di dunia, kebaikan sering luput dari pengakuan. Di hari itu, yang sunyi akan bersuara.
Ada pula Hari Pertemuan. Di Padang Mahsyar, semua manusia lintas generasi akan dipertemukan. Mereka yang semasa hidup memperbanyak sahabat dan menyimpan silaturahmi, akan menemukan “keluarga besar” yang membawa kehangatan di tengah kegelisahan kosmik.
Baca juga: Tak Seorang pun yang Mengetahui Kapan Kiamat Terjadi Lalu Hari Kejadian yang Hebat. Sebuah pengalaman teaterikal 4D tentang kiamat, tapi tanpa ancaman. “Orang beriman akan menyaksikan semua itu,” tulis Imam Ghazali, “tapi tak merasa cemas. Sebab hukum dunia tak lagi berlaku.”
Hari Keputusan, Hari Kemenangan, bahkan Hari Keabadian—semua menandakan bahwa bagi orang yang beriman dan beramal saleh, kiamat justru adalah perayaan.
Tanda-Tanda Itu Telah Dekat?Tentu, optimisme ini bukan tanpa catatan. Nabi Muhammad memberi isyarat bahwa hari itu akan diawali dengan keguncangan yang akrab:
(1) Pasar sepi, jual beli tak laku—resesi global.
(2) Hujan langka, tumbuhan pun enggan tumbuh—krisis iklim.
(3) Ghibah merajalela—manipulasi informasi.
(4) Riba jadi sistem ekonomi—korupsi berjamaah.
(5) Harta diagungkan—materialisme bebal.
(6) Orang fasik bersuara lantang di masjid—kemunafikan berjubah agama.
Baca juga: Kiamat Akan Terjadi Pada Hari Jumat di Antara Waktu Subuh dan Terbitnya Matahari Setiap tanda itu seolah menjelma kabar harian. Resesi global 2008, krisis iklim hari ini, dominasi opini palsu di media sosial, hingga transaksi politik penuh dusta yang mengatasnamakan agama.
Jika tanda-tanda itu adalah teka-teki, maka dunia kita hari ini sudah menyusun banyak potongan puzzle-nya.
Tugas Kita: Bangkit, Bukan PanikLantas, apa gunanya semua ini? Bagi Islam, kiamat bukan soal ramalan, melainkan peringatan. Tugas manusia bukan memprediksi detiknya, tapi mempersiapkan dirinya.
Dalam suasana dunia yang makin tak menentu, tafsir kiamat yang spiritual seperti ini layak digaungkan. Ia menawarkan harapan di balik kehancuran, ketenangan di tengah ketakutan, dan arah di balik kekacauan.
Seperti kata Nasruddin: urusan waktu, serahkan pada Tuhan. Urusan kita adalah menghitung amal, bukan pasir.
Baca juga: Hari Kiamat: Gambaran Jasad Ketika Bangkit Dalam Kubur saat Sangkakala Ditiup(mif)