LANGIT7.ID-Pada suatu musim panas, 
Nasrudin Hoja kembali mengembara, dan langkahnya membawanya ke ibukota sebuah negeri besar. Ia hanya sempat beristirahat sehari di penginapan sederhana, namun desas-desus tentang dirinya sudah beredar ke seluruh kota.
“Orang itu,” bisik para pedagang di pasar, “menguasai bahasa burung-burung!”
“Benarkah?” tanya para pejabat istana yang tak kalah kepo.
Berita itu akhirnya sampai ke telinga raja. Sang raja, yang selalu ingin memamerkan kebijaksanaannya (dan diam-diam ingin tahu siapa yang berani menyebar gosip tentang dirinya), memerintahkan prajurit untuk membawa Nasrudin ke istana.
“Nasrudin,” kata raja dengan senyum penuh rasa ingin tahu, “aku dengar engkau pandai berbicara dengan burung. Benarkah?”
“Ah, kabar itu agak berlebihan,” jawab Nasrudin sambil membungkuk. “Aku hanya kadang-kadang bisa mengerti bila mereka berbicara jujur.”
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Hujan dan Baju Satu-satunya Kebetulan saat itu, seekor burung hantu sedang bertengger di atap istana, menatap ke bawah dan berteriak keras: huuk… huuk… huuk…
Sang raja menunjuk burung itu dengan tongkat emasnya.
“Kalau begitu,” katanya dengan nada menantang, “coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!”
Nasrudin mendongak sebentar, mendengarkan suara serak burung hantu itu, lalu menatap raja dengan tatapan serius.
“Ia berkata,” kata Nasrudin tenang, “Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarang burung yang rapuh di ujung dahan.”
Wajah raja mendadak merah padam. Para menteri menahan napas. Namun, sebelum sang raja bisa marah, Nasrudin menambahkan, “Tapi… burung hantu kadang suka bercanda, Baginda. Jadi barangkali… siapa tahu… ia hanya ingin menguji telinga kita, apakah kita mau mendengarkan atau tidak.”
Raja terdiam, lalu tersenyum kecut. “Baiklah,” katanya pelan. “Kalau begitu, kita dengarkan saja dulu…”
Dan malam itu, burung hantu di atap istana berteriak lebih keras dari biasanya, entah menyindir atau sekadar mengingatkan.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Kantong yang Haus Hikmah yang bisa dipetik dari kisah tersebut:
1. Suara kebenaran bisa datang dari mana saja.
Dalam cerita, kebenaran tentang penderitaan rakyat dan ancaman runtuhnya kerajaan disampaikan melalui simbol suara burung hantu — sesuatu yang biasanya diabaikan atau bahkan dianggap sial. Ini mengingatkan kita untuk tidak meremehkan nasihat, meski datang dari arah yang tak terduga.
2. Pemimpin yang bijak mau mendengarkan.
Meskipun tersinggung, raja akhirnya memilih untuk mendengarkan pesan burung hantu, melalui lidah Nasrudin. Ini pelajaran penting bahwa pemimpin seharusnya tidak cepat marah terhadap kritik, tetapi mempertimbangkan isinya dengan jernih.
3. Keberanian menyampaikan kebenaran dengan cara yang bijak.
Nasrudin menyampaikan pesan yang pahit dengan cara yang halus dan penuh humor, sehingga bisa diterima raja. Ini menunjukkan seni berbicara: menyampaikan yang benar tanpa mempermalukan orang lain, apalagi penguasa.
4. Kekuasaan itu rapuh bila rakyat sengsara.
Burung hantu mengingatkan bahwa jika raja terus menyengsarakan rakyat, kerajaannya akan runtuh, seperti sarang burung di dahan. Pesan ini sederhana namun dalam: kekuasaan hanya kokoh bila rakyat merasa dilindungi dan sejahtera.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Baju yang Lapar 5. Setiap tanda alam, suara hati, dan bahkan ‘burung hantu’ dalam hidup kita bisa jadi peringatan.
Kadang kita terlalu sibuk untuk mendengarkan. Cerita ini mendorong kita untuk lebih peka terhadap tanda-tanda yang diberikan Tuhan melalui sekeliling kita.
(mif)