Nasrudin mengolok-olok kecenderungan manusia untuk memutar logika sesuai situasi. Ia tidak bohong, tapi juga tidak jujur sepenuhnyakarena yang ia utamakan bukan keju, melainkan kepekaan melihat situasi.
Seperti biasa, Nasrudin tak memberi nasihat panjang. Tapi ia mengajari bahwa kadang, malu karena tidak punya lebih menyentuh daripada marah karena kehilangan.
Nasrudin tidak membalas kemarahan istrinya, tidak melawan, apalagi memperkeruh suasana. Ia justru merespons dengan humor dan cara yang membuat orang lain tersenyum.
Dengan cara jenaka, kisah ini mengajak kita bercermin pada diri sendiri: apakah kita pernah membenarkan sesuatu yang tidak benar hanya karena kita dapat keuntungan?
Nasrudin dengan santai meminjam kuda yang sebenarnya terlalu cepat untuknya. Kadang kita juga terburu-buru mengambil tanggung jawab atau kesempatan tanpa memahami risikonya. Hasilnya? Kita justru terbawa oleh keadaan.
Walaupun istrinya mencoba menutupi kesalahannya dengan menyalahkan kucing, Nasrudin dengan cerdik membuktikan bahwa alasan itu tidak masuk akal. Kebenaran akhirnya tetap muncul.
Dalam cerita, kebenaran tentang penderitaan rakyat dan ancaman runtuhnya kerajaan disampaikan melalui simbol suara burung hantu sesuatu yang biasanya diabaikan atau bahkan dianggap sial.
Kisah ini mengingatkan kita: jangan hanya melihat dengan mata kepala, tetapi juga dengan hati yang jernih. Kadang yang tampak konyol bagi kita justru penuh rahmat bila dilihat dengan sabar dan iman.