LANGIT7.ID-Suatu malam, 
Nasrudin Hoja pulang bersama teman-temannya setelah seharian berkeliling kota, bercakap-cakap tentang kehidupan, takdir, dan kadang juga sekadar bergosip soal siapa yang utangnya paling banyak.
Langit sudah gelap dan bulan hanya separuh, jadi mereka berjalan pelan sambil bercanda kecil. Sesampainya di depan rumah, Nasrudin melambai kepada teman-temannya.
“Baiklah, sampai jumpa besok. Semoga kalian masih hidup untuk membayari utang masing-masing,” katanya sambil tersenyum.
Mereka tertawa dan melanjutkan jalan, sementara Nasrudin masuk ke rumah.
Begitu pintu ditutup, suasana hangat rumah langsung terasa panas. Di dalam, istrinya sudah berdiri di tengah ruangan dengan tangan bertolak pinggang dan wajah semerah bara api.
“Aku sudah bersusah payah memasak untukmu sore tadi!” serunya sambil menarik telinga Nasrudin.
“Eh, pelan-pelan!” teriak Nasrudin. Tapi terlambat. Dengan satu jeweran yang bertenaga, istrinya menjewer Nasrudin begitu keras sampai ia kehilangan keseimbangan, terpelanting, dan jatuh menabrak sebuah peti kayu di pojok ruangan.
BUK!
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Jika Kau Percaya Ia Beranak, Percayalah Ia Bisa Mati Peti itu sampai bergeser sedikit karena benturan.
Mendengar suara gaduh itu, teman-teman Nasrudin yang belum terlalu jauh kembali lagi ke depan rumah dan mengetuk pintu.
“Nasrudin, ada apa? Malam-malam begini ribut sekali?” tanya mereka dari luar.
Dengan suara pelan, sambil mengusap-usap kepalanya yang benjol, Nasrudin menjawab:
“Jubahku jatuh dan menabrak peti.”
Teman-temannya terdiam sebentar, lalu berseru:
“Jubah jatuh saja sampai ribut begitu?”
Nasrudin menarik napas panjang, menatap istrinya yang masih berdiri dengan wajah galak, lalu berkata dengan getir:
“Tentu saja ribut… karena aku masih berada di dalamnya.”
Kalimat itu membuat teman-temannya di luar terbahak, sementara di dalam rumah Nasrudin masih harus menghadapi “petir” dari istrinya yang belum reda.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Kuda Pinjaman ---
Hikmah dari kisah humor sufi  ini bisa dipetik dari dua sisi:
1. Kerendahan hati dan keluwesan menghadapi masalah
Nasrudin tidak membalas kemarahan istrinya, tidak melawan, apalagi memperkeruh suasana. Ia justru merespons dengan humor dan cara yang membuat orang lain tersenyum. Dalam hidup, sering kali kita tidak bisa menghindari benturan atau masalah, tetapi kita bisa memilih cara menyikapinya — dengan sabar, ringan, dan bahkan dengan sedikit tawa.
2. Menjaga martabat sambil tetap jujur
Ketika teman-temannya bertanya, Nasrudin tidak tega membuka aib rumah tangga dengan mengatakan istrinya marah dan menjewer. Ia memilih jawaban kiasan yang benar, tapi tidak mempermalukan siapa pun: “jubahku jatuh, dan aku masih berada di dalamnya.” Ini mengajarkan pentingnya menjaga kehormatan diri dan keluarga, meski dalam keadaan yang sulit atau memalukan.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Jika Ini Kucing Dua Kilo, Lalu Mana Ikan Dua Kilo? 3. Humor sebagai obat
Kisah ini juga menunjukkan bahwa humor adalah salah satu cara paling bijak untuk meredakan ketegangan, bahkan di tengah marah dan masalah rumah tangga. Orang yang bisa tersenyum pada dirinya sendiri akan lebih mudah melewati badai kecil dalam hidup.
Seperti kata pepatah sufi: “Orang yang paling beruntung adalah yang bisa tertawa di saat ia ingin menangis, dan tetap bersyukur ketika ia terjatuh.”
Kalau ingin, saya juga bisa bantu buat hikmah ini dalam bentuk puisi atau nasehat singkat. Tinggal bilang saja!
(mif)