LANGIT7.ID-Suatu hari, 
Nasrudin Hoja diundang ke pesta besar di rumah seorang pejabat kaya di kota. Dengan gembira ia berangkat, tetapi karena kesibukan di kebun, ia tidak sempat berganti pakaian. Ia datang mengenakan baju tua dan penuh tambalan.
Begitu sampai di pintu, para pelayan hanya meliriknya sekilas. Tak seorang pun menyapa, apalagi mempersilakannya masuk. Tuan rumah sendiri pura-pura tidak melihatnya. Para tamu lainnya menyingkir, takut baju Nasrudin menyentuh jubah mereka yang mewah.
Merasa tidak dihargai, Nasrudin pulang dengan langkah ringan namun wajahnya penuh teka-teki.
Tak lama kemudian, ia kembali ke pesta itu. Kali ini dengan mengenakan pakaian baru: jubah sutra yang berkilauan, sorban besar yang harum, dan sepatu kulit yang mahal. Begitu ia muncul di gerbang, semua orang tersenyum lebar. Tuan rumah menyongsongnya dengan ramah.
"Ah, Nasrudin! Silakan masuk! Duduklah di sini, di dekat saya!" katanya, sambil memberi isyarat pada pelayan untuk menyajikan hidangan terbaik.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Mana Lelaki, Mana Perempuan? Nasrudin duduk. Para pelayan membawakan makanan lezat, menumpuk di hadapannya. Tetapi alih-alih menyantapnya, ia berdiri, melepaskan jubahnya, meletakkannya di atas piring, dan berkata:
"Hei, baju baru… makanlah! Makanlah sepuasmu!"
Tuan rumah dan para tamu terbelalak.
Nasrudin tersenyum dan berkata:
"Ketika aku datang dengan baju jelek, tak seorang pun yang peduli. Tapi ketika aku datang dengan baju ini, kalian semua menghormatiku. Rupanya yang kalian jamu bukan aku, melainkan bajuku. Maka biarlah baju ini yang makan."
Mendengar itu, semua orang terdiam, lalu tertunduk malu. Dan Nasrudin — seperti biasa — pulang dengan senyum kecil, meninggalkan pelajaran yang tak mudah dilupakan.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Upah dari Allah, dan Tetangga yang Malang HikmahKisah humor sufi Nasrudin ini juga menyimpan hikmah yang dalam di balik kelucuan tingkah lakunya. Berikut beberapa hikmah yang bisa kita petik:
1.Manusia sering menilai dari penampilan luar. 
Orang-orang di pesta itu tidak melihat siapa Nasrudin sebenarnya, tetapi hanya memandang pakaiannya. Begitu ia mengenakan baju bagus, sikap mereka berubah. Ini sindiran halus bahwa banyak orang lebih menghormati harta dan rupa daripada hakikat dan nilai diri seseorang.
2. Harga diri tidak tergantung pada apa yang dikenakan. 
Nasrudin menunjukkan bahwa penghormatan sejati seharusnya diberikan kepada manusia, bukan kepada baju atau status sosialnya.
3. Keadilan dan sindiran yang cerdas.
Dengan “memberi makan bajunya,” Nasrudin ingin menyadarkan tuan rumah dan para tamu bahwa yang mereka muliakan sebenarnya hanyalah baju itu, bukan dirinya sebagai pribadi.
Baca juga: Kisah Humor Nasrudin Hoja: Jubah-Jubah yang Diselundupkan 4. Kritik sosial yang halus. 
Kisah ini mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap sifat munafik dan perilaku kelas sosial: mudah merendahkan orang yang tampak miskin, tetapi menjilat orang yang tampak kaya.
5. Kebijaksanaan dibungkus humor. 
Dengan cara lucu dan jenaka, Nasrudin mengajarkan etika dan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa harus marah atau menyakiti siapa pun.
Kisah ini mengajak kita untuk melihat esensi manusia lebih dari sekadar bungkusnya, dan bersikap adil terhadap siapa pun, tanpa pandang status, pakaian, atau kekayaannya.
(mif)