LANGIT7.ID-
Prof Dr Quraish Shihab mengatakan
Al-Qur’an, juga hadis-hadis Nabi SAW, membahas
hari akhir dari berbagai aspek secara mendalam. Namun, tidak satu pun ayat maupun hadis yang menyebutkan secara pasti kapan waktu kedatangannya. Bahkan, secara tegas dinyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan kiamat akan terjadi.
“Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu tentang hari akhir, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahan (ketentuan waktunya)” (QS Al-Nazi’at [79]: 42–44)
Banyak ayat Al-Qur’an mengandung makna serupa, begitu pula hadis-hadis Nabi Saw. yang menegaskan hal ini.
Dalam sebuah hadis, malaikat Jibril bertanya kepada
Nabi Muhammad Saw.—dalam rangka mengajarkan umat Islam—tentang kapan hari kiamat akan terjadi. Nabi Saw. menjawab: “Tidaklah yang ditanya tentang hal itu lebih mengetahui dari yang bertanya.” (HR. Muslim dari Umar bin Khaththab)
Beberapa ayat memang menyebutkan bahwa hari kiamat sudah dekat. Misalnya: “
Kapankah itu (hari kiamat)?” (QS Al-Isra’ [17]: 51) Katakanlah, “Boleh jadi ia dekat.”
Atau firman Allah dalam: QS Al-Qamar (54): 1: “Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan.”
QS Al-Anbiya’ (21): 1: “Telah dekat kepada manusia hari perhitungan (kiamat), sedangkan mereka berada dalam kelalaian dan berpaling darinya.”
Baca juga: Kiamat Akan Terjadi Pada Hari Jumat di Antara Waktu Subuh dan Terbitnya Matahari Nabi Saw. juga bersabda: “Aku diutus, dan perbandingan antara masa diutusku dengan hari kiamat adalah seperti ini (sambil menggandengkan jari telunjuk dan jari tengah)." (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah)
Apakah ayat dan hadis tersebut menunjukkan bahwa kiamat dekat dari segi waktu? Bisa jadi demikian. Namun, kedekatan ini tidak harus dipahami sebagai "besok," "seribu tahun," atau "sepuluh ribu tahun" ke depan. Kedekatannya bisa saja dibandingkan dengan umur dunia yang telah berlangsung ratusan juta tahun. Bahkan mungkin, kedekatan itu bukan dalam arti waktu, melainkan kepastian terjadinya.
Dalam menjawab pertanyaan tentang waktu kiamat, Nabi Saw. diperintahkan untuk mengatakan, “Boleh jadi ia dekat.”
Bentuk kata kerja lampau dalam QS Al-Qamar dan QS Al-Anbiya’ mengenai peristiwa yang belum terjadi menunjukkan bahwa hari kiamat adalah sesuatu yang pasti terjadi. Karena segala yang akan datang dianggap dekat, dan yang telah berlalu serta tidak akan kembali dianggap jauh.
Informasi Al-Qur’an tentang kedekatan kiamat lebih bertujuan agar manusia selalu siap menghadapinya. Oleh sebab itu, banyak ayat menegaskan bahwa kedatangannya sangat tiba-tiba, seperti dalam:
“Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka atau kedatangan kiamat kepada mereka secara tiba-tiba, sedangkan mereka tidak menyadarinya?” (QS Yusuf [12]: 107)
Baca juga: Hari Kiamat: Gambaran Jasad Ketika Bangkit Dalam Kubur saat Sangkakala Ditiup Menariknya, yang bertanya tentang waktu terjadinya kiamat biasanya adalah orang-orang musyrik, bukan orang-orang beriman:
“Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan, sedangkan orang-orang yang beriman merasa takut akan kedatangannya. Mereka yakin bahwa kiamat adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa orang-orang yang membantah tentang terjadinya kiamat benar-benar dalam kesesatan yang jauh.” (QS Al-Syura [42]: 18)
Rasa takut akan kiamat akan mendorong orang-orang beriman untuk memperbanyak amal ibadah demi meraih kebahagiaan abadi di akhirat.
Buah Kepercayaan Terhadap Hari KebangkitanAl-Qur’an mengarahkan keimanan terhadap hari akhir agar menjadi motivasi untuk melakukan berbagai aktivitas positif dalam kehidupan, meskipun aktivitas tersebut tidak mendatangkan keuntungan materi secara langsung. Salah satu surat yang menyinggung hal ini adalah Surat Al-Ma’un (107).
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa surat ini turun berkaitan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl. Mereka biasa menyembelih seekor unta setiap minggu. Suatu hari, seorang anak yatim datang meminta daging, namun bukan diberi, ia malah dihardik dan diusir.
Surat Al-Ma’un dibuka dengan pertanyaan: “Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?”
Kata ad-din dalam konteks ini biasanya diartikan sebagai agama, tetapi juga dapat berarti pembalasan atau hari pembalasan. Sehingga “yukadzdzibu biddin” dapat berarti “mengingkari hari akhir.”
Baca juga: Pada Hari Kiamat Manusia Dikumpulkan di Palestina Ini diperkuat oleh pengamatan bahwa setiap kali Al-Qur’an menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, konteksnya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat (lihat QS Al-Infithar [82]: 9 dan QS Al-Tin [95]: 7).
Sikap enggan membantu anak yatim atau orang miskin, jika didasarkan pada anggapan bahwa bantuan tersebut tidak memberikan keuntungan, sejatinya mencerminkan ketidakpercayaan terhadap hari pembalasan. Sebab, orang yang percaya hari akhir akan yakin bahwa kebaikannya—meskipun tidak dihargai di dunia—akan diganjar di akhirat. Allah tidak menyia-nyiakan amal baik, sekecil apa pun.
Seseorang yang hidupnya hanya berfokus pada “kekinian” dan “kedisinian” tidak akan melihat ke depan—ke hari pembalasan. Sikap seperti ini adalah bentuk pendustaan terhadap ad-din, baik dalam arti “agama” maupun “hari akhir”.
Keimanan terhadap hari akhir menuntut keyakinan terhadap yang gaib. Kepercayaan terhadap hal-hal gaib mencakup janji Allah, termasuk balasan atas amal baik. Karena itulah, orang beriman tetap berbuat baik meskipun secara logika duniawi dianggap merugi, karena ia yakin pada janji Ilahi.
“Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri.”
Dengan pertanyaan pembuka tersebut, ayat pertama dalam surat Al-Ma’un mengajak manusia untuk menyadari bahwa kesadaran beragama sejati tidak cukup hanya dengan ritual, melainkan harus disertai kesalehan sosial.
Surat Al-Ma’un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini menekankan bahwa Islam tidak memisahkan ibadah ritual dan sosial. Bahkan, dimensi sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari makna ibadah yang sejati. Ibadah yang kosong dari kepedulian sosial akan kehilangan maknanya.
Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal Al-Qur’an menulis: “Mungkin ini mengejutkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Namun, inilah inti persoalan. Hakikat keimanan bukan hanya ucapan lisan, tetapi perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kepedulian terhadap sesama.”
Baca juga: Fisikawan AS Prediksi Kiamat 2026, Al-Quran: Hari Pembalasan Sudah Dekat Ia menambahkan: “Allah tidak menghendaki kalimat-kalimat kosong, melainkan perbuatan nyata yang membenarkan apa yang diucapkan.”
Lebih lanjut, Sayyid Quthb mengingatkan bahwa kita tidak sedang berbicara dalam ranah hukum—tentang batas iman dan Islam dalam interaksi sosial. Surat Al-Ma’un berbicara tentang hakikat keimanan dari sudut pandang Ilahi, yang mungkin berbeda dengan penilaian manusia.
(mif)