LANGIT7.ID-
Gunung Qasiyun, ribuan tahun sebelum para nabi diutus, sebelum manusia mengenal kerajaan, hukum, atau perang, darah pertama sudah mengalir di muka bumi. Darah itu—darah saudara sendiri—ditumpahkan oleh tangan manusia pertama yang terperdaya oleh cinta dan cemburu:
Qabil, anak sulung
Nabi Adam.
Peristiwa itu terjadi tak lama setelah keluarga pertama manusia mendiami bumi.
Nabi Adam dan Hawa hidup dengan anak-anak kembar, laki-laki dan perempuan. Dalam satu versi yang ditulis oleh sejarawan Mesir,
Muhammad bin Ahmad bin Iyas, Nabi Adam membagi tugas kepada dua anaknya: Qabil menjadi petani, sementara Habil menggembala domba.
Namun persoalan muncul bukan pada ladang atau ternak. Melainkan pada hati: Qabil jatuh cinta pada saudari kembarnya sendiri, Iqlima, perempuan cantik yang ditakdirkan menjadi istri Habil. Ia menolak untuk menikahi Layutsa, saudari Habil yang kurang menarik secara fisik.
"Dia dilahirkan bersama denganku," kata Qabil dalam kisah yang dikutip dari
Kisah Penciptaan dan Tokoh-tokoh Sepanjang Zaman. "Aku mencintainya."
Baca juga: Nabi Adam di Surga 100 Tahun, Diusir dan Menangis selama 70 Tahun Nabi Adam yang bingung melihat pembangkangan anaknya, lalu meminta keduanya mempersembahkan kurban. Barang siapa yang kurbannya diterima Allah, dialah yang berhak menikahi Iqlima. Habil taat dan mempersembahkan domba terbaik dari gembalanya. Qabil, sebaliknya, hanya menyodorkan seikat gandum kering dan rusak.
Al-Qur’an mencatat momen ini dengan narasi tegas: "Ceritakanlah kepada mereka kisah dua anak Adam yang mempersembahkan kurban; maka diterima dari salah satunya dan tidak dari yang lainnya."* (QS Al-Ma’idah: 27)
Langit pun mengambil kurban Habil. Sementara persembahan Qabil ditolak. Hasad pun membakar hatinya. “Aku pasti membunuhmu!” ancam Qabil.
“Sungguh, Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa,” jawab Habil, tenang.
Cinta, Iri, dan Batu PertamaMenurut tafsir Ats-Tsa’labi, Iblis kemudian mendatangi Qabil dalam wujud manusia. Ia memberi isyarat: ambil batu, dan pukul ke kepala Habil. Qabil menurut.
Di Gunung Qasiyun, tak jauh dari Damaskus hari ini, Habil tidur di bawah pohon. Qabil datang diam-diam, mengangkat batu besar, dan menghantamkan ke kepala saudaranya. Habil tewas seketika. Maka tercatatlah nama Qabil sebagai pembunuh pertama dalam sejarah umat manusia.
Baca Juga: Kisah Nabi Adam selama 300 Tahun Berdoa Memohon Ampunan Tapi setelah membunuh, Qabil bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap mayat saudaranya. Selama berhari-hari ia menggendong tubuh itu, hingga datanglah dua gagak. Salah satu membunuh kawannya, lalu menguburnya dengan cakarnya.
“Aduhai celaka aku,” ucap Qabil lirih. “Mengapa aku tak mampu berbuat seperti gagak ini?”
Allah mengabadikan momen ini dalam Al-Ma’idah: 31 sebagai pelajaran tentang kesedihan, penyesalan, dan awal pengetahuan tentang kematian.
Bumi Berubah, Langit BersaksiIbnu Abbas meriwayatkan, setelah pembunuhan itu, darah Habil diserap bumi. Allah pun melarang bumi menyerap darah manusia lagi.
Bumi bergetar selama tujuh hari, gerhana matahari terjadi, dan pohon-pohon mulai tumbuh duri. Sejumlah ulama menilai bahwa perubahan rasa buah dan asin air laut terjadi sejak saat itu. Bahkan menurut pakar sejarah Mir’at az-Zaman, bintang berekor muncul saat Habil dibunuh—sebuah pertanda langit atas kejahatan bumi.
Adam dan Hawa tidak langsung mengetahui kabar itu. Mereka saat itu berada di India. Ketika kembali dan menyaksikan kematian anaknya, Adam menggubah bait-bait syair kesedihan—yang disebut sebagai syair pertama manusia:
"Semua yang ada di bumi telah berubah,Tanah menjadi debu dan wajah tak ceria.Bagaimana mungkin aku tak menangis untuk darah yang tertumpah,Sedang tidur pun tak bisa menutup luka."Baca juga: Kisah Malaikat Jibril Mengajari Nabi Adam Bertani dan Membuat Roti Namun sebagian ulama seperti Ibn al-Jauzi meragukan syair itu berasal dari Adam, mengingat ia berbicara dalam bahasa Suryani, bukan Arab.
Hukum Pertama Tentang DarahSeusai membunuh, Qabil melarikan diri, membawa serta ternak Habil dan menikahi Iqlima. Tapi tak ada keberkahan dalam pernikahan itu. Dosa pembunuhan membuat hidupnya gelap dan terasing. Sebagian riwayat mengatakan, ia meninggal dalam keadaan hina.
Al-Qur’an menjadikan tragedi ini sebagai prinsip agung kemanusiaan:
"Barang siapa membunuh satu jiwa tanpa hak, maka seolah-olah dia telah membunuh seluruh manusia." (QS Al-Ma’idah: 32)
Sejak itu, darah menjadi sakral. Kematian bukan sekadar kehilangan, tetapi perkara hukum, moral, dan spiritual.
Gunung Qasiyun di Suriah hingga kini dipercaya sebagai lokasi pembunuhan Habil. Di puncaknya terdapat bangunan tua dengan makam yang diklaim sebagai makam Habil, meski tak dapat diverifikasi sejarahnya. Ribuan tahun berlalu, dosa itu tetap menjadi pengingat bahwa hasad adalah akar segala kejahatan.
Qabil dan Habil bukan sekadar dua tokoh dalam kisah agama. Mereka adalah simbol awal dari konflik manusia: antara cinta dan ketaatan, antara hasad dan takwa, antara kekerasan dan kemanusiaan.
Sebuah pembunuhan pertama, yang dampaknya masih kita rasakan hingga hari ini—dalam setiap pertumpahan darah yang tak berdasar, dalam setiap perebutan hak yang dibungkus cinta buta.
Baca juga: Kisah Nabi Adam: Ketika Pakaiannya Langsung Terlepas begitu Melanggar Larangan Allah Taala(mif)