LANGIT7.ID-Setiap
10 Muharram, umat
Syiah di berbagai belahan dunia turun ke jalan. Mengenang wafatnya
Imam Hussein, cucu
Nabi Muhammad SAW, mereka menangis, memukul dada, bahkan mencambuk diri. Tradisi ini menyimpan lebih dari sekadar ratapan: ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
Pakaian serba hitam membanjiri jalanan. Genderang duka ditabuh bertalu-talu, mengiringi arak-arakan unta berhiaskan kain berwarna-warni. Di tengah hiruk pikuk kota Teheran, suara ratapan menggema bersahut-sahutan. Ribuan orang—lelaki dan perempuan—berdiri berdempetan, memukul dada mereka dengan irama yang nyaris serempak. Beberapa di antaranya menitikkan air mata. Ada pula yang mencambuk punggungnya dengan rantai besi. Hari itu, 10 Muharram. Hari
Asyura. Hari duka umat Syiah.
Di
Iran, Irak, Pakistan, dan negara-negara dengan populasi Syiah signifikan, Asyura bukan sekadar tanggal dalam kalender Hijriah. Ia adalah luka kolektif yang terus dihidupkan, diperingati dengan penuh gairah dan kesakitan.
Imam Hussein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, tewas dalam Pertempuran Karbala pada tahun 680 M, kepalanya dipenggal, tubuhnya tercabik. Peristiwa itu tak hanya ditangisi, tapi diwariskan sebagai bentuk perlawanan terhadap tirani.
Baca juga: Doa Asyura: Mengurai Harap di Tanggal 10 Muharram Duka yang DisimbolkanDi berbagai kota besar seperti Karbala, Teheran, Qom, Kabul hingga Lahore, warga turun ke jalan. Mereka mengenakan pakaian hitam sebagai lambang berkabung. Ritual berkisar dari tangisan hingga teatrikal: dada-dada dipukul, punggung dicambuk rantai, sesekali diiringi nyanyian pelayat. “Ini bukan sekadar kesedihan,” kata seorang ulama di Najaf, Irak, “Ini penegasan bahwa kebenaran pernah dibunuh, tapi semangatnya tak pernah padam.”
Tradisi ini berlangsung selama berabad-abad. Sebagian kelompok bahkan menampilkan drama peristiwa Karbala, memperagakan perjalanan Hussein dari Makkah hingga medan kematian. Unta yang ditunggangi para aktor diarak, menggambarkan rombongan Hussein yang kecil dan nyaris tanpa persenjataan.
Namun, tak semua setuju dengan ritual menyakiti diri. Dalam dua dekade terakhir, sejumlah pemimpin spiritual Syiah menyerukan reformasi. Mereka menilai praktik seperti mencambuk diri dengan benda tajam menampilkan citra yang kelam dan terbelakang. Beberapa di antaranya mendorong umat mengganti cambuk dengan donor darah: kesakitan yang dialihkan menjadi kemanusiaan.
“Duka itu tetap penting,” kata mendiang
Sayyid Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah dalam salah satu ceramahnya, “tapi kita juga harus berpikir tentang masa depan. Kita ubah luka jadi harapan.”
Di Irak, peringatan Asyura sering diiringi dengan aksi sosial berskala besar. Ribuan orang memasak semalam suntuk untuk memberi makan para peziarah. Hidangan seperti nasi daging, buncis, dan roti dibagikan tanpa bayaran di sepanjang rute ziarah ke Karbala. Kota itu sendiri jadi titik magnet. Jutaan orang dari berbagai negara datang untuk menginjakkan kaki di tanah di mana darah Hussein tumpah.
Baca juga: Kisah Nabi Nuh: Ketika Bahteranya Terdampar di Bukit Judi pada Bulan Asyura Perayaan itu bukan tanpa risiko. Di tengah ketegangan sektarian, Asyura kerap disusupi kelompok ekstrem yang melancarkan serangan. Namun, para peziarah tetap datang. Menyatu dalam gelombang duka, dalam keyakinan bahwa mengenang Hussein bukan hanya soal masa lalu—tapi sikap terhadap masa depan.
Di mata umat Syiah, Hussein bukan semata sosok suci. Ia adalah simbol keadilan yang dilawan, suara kebenaran yang dibungkam. Maka, setiap tetes darah dan setiap tangisan saat Asyura adalah bentuk sumpah tak langsung: bahwa kezaliman, dalam bentuk apapun, tak boleh dibiarkan.
Dan begitulah, Asyura selalu kembali. Menyapu jalan-jalan dengan warna hitam dan denting rantai. Menarik umat pada kenangan pahit yang dijaga, bukan untuk ditangisi semata, tapi untuk menghidupkan semangat perlawanan dari generasi ke generasi.
Baca juga: Lanjutkan Ibadah Puasa Sunnah Setelah Menjalankan Tasua dan Asyura(mif)