LANGIT7.ID, Jakarta -
Banyak bersyukur atas segala yang diperoleh. Kurangi gaya, agar tidak banyak terjadi tekanan, khususnya gaya hidup yang membuat tersiksa. Selamat bahagia.
Oleh : Muhammad IqbalDi era digital membuat perilaku manusia berubah. Khususnya semenjak berkembangnya media sosial, dunia terasa semakin luas tak terpisah ruang dan waktu
Namun tanpa di sadari, media sosial telah mengubah perilaku kehidupan manusia. Eksistensi di media sosial mengakibatkan sebagian orang menghalalkan segala cara untuk terlihat kaya dan sukses. Padahal berbeda jauh dengan kenyataan hidupnya.
Beberapa klien yang datang, kalau kita lihat profil mereka di media sosial sungguhlah indah. Banyak orang iri padanya karena dia menampilkan kehidupan yang sempurna.
Baca Juga: Ketergantungan dan Ancaman Media SosialIbarat selebriti, mereka selalu posting sesuatu yang terlihat mewah. Makan, jalan-jalan, mal, bandara, wisata dan foto keluarga semua dipamerkan dalam kemasan yang indah. Namun, ketika mendengar kisah-kisahnya sungguh jauh dari kenyataan.
Ada yang hampir bercerai, korban KDRT, dan dikejar utang. Bahkan ada yang tidak memiliki biaya untuk berobat.
Seorang teman, suatu hari mengirim pesan menanyakan kabar. Lalu saya menanyakan kabar balik dan dia bercerita kalau saat ini bekerja di perusahaan asing.
Saya pun percaya karena melihat foto-foto di medsosnya sungguh keluarga bahagia. Tidak berapa lama, seorang teman mengirimkan pesan kabar duka bahwa teman tersebut meninggal dunia dan ternyata dia menderita sakit yang lama.
Baca Juga: Tentang Vaksinasi dan Kehidupan dari Pandemi ke EndemiDia korban PHK, istri dan anaknya meninggalkannya. Dia meninggal di sebuah kontrakan kecil dan tidak memiliki biaya untuk berobat.
Lalu saya tanya, bukankah dia hidup bahagia dengan foto-foto di medsosnya? Teman yang kebetulan dekat dengannya mengatakan, foto yang diunggah merupakan foto lama yang di ulang-ulang karena kerinduan dengan anak istri yang sudah 2 tahun meninggalkannya.
Saya pun berderai air mata, seandainya ketika itu dia mau bercerita mungkin bisa membantunya. Namun, semua sudah terjadi tak ada yang bisa ditangisi.
Demikian juga dengan kisah seorang istri yang selalu insecure dengan postingan teman-temanya di medsos. Dia merasa dirinya tertinggal dari teman-temannya karena memiliki segalanya. Harta, jabatan dan status sosial, padahal yang mereka posting belum tentu benar adanya.
Baca Juga: Mobilitas yang Menggeliat, Ekonomi yang Masih SekaratSetiap orang atau keluarga juga memiliki masalah, akhirnya sang istripun berusaha terlihat mapan dan kaya. Dia menampilkan foto-foto yang menunjukkan dia keluarga sukses, kaya dan mapan.
Namun, untuk terlihat hebat dia berbohong. Meminjam sana-sini bahkan berhutang untuk membeli barang keinginannya. Dia ingin punya rumah di kawasan elite agar tidak malu bila ditanya tinggal dimana. Akhirnya dia berhutang ke bank untuk mengisi rumahnya. Dia belanja dengan kartu kredit, yang akhirnya berurusan dengan debt collector.
Hidupnya pun secara batin tersiksa karena setiap akhir bulan harus membayar utang dan diteror penagih utang. Akhirnya rumah tangganya bermasalah, sering berantem, tertekan, cemas dan hidupnya tidak bahagia
Inilah yang disebut dengan korban penipuan di medsos, akhirnya menjadi penipu di medsos. Awalnya dia hanyalah korban, namun akhirnya diapun menjadi pelaku.
Baca Juga: Mendigitalkan Kehidupan Kerja dari Ujung ke UjungPermasalahan menipu di media sosial saat ini sering terjadi. Seandainya mereka tidak terpengaruh, terprovokasi oleh para penipu mungkin tidak pula menjadi penipu.
Di saat pandemi cobalah buat hidup menjadi sederhana. Sesuaikan keinginan dengan pendapatan. Bila tidak punya jangan gengsi dan terpengaruh orang lain.
Banyak bersyukur atas segala yang diperoleh. Kurangi gaya, agar tidak banyak terjadi tekanan, khususnya gaya hidup yang membuat tersiksa. Selamat bahagia.
CEO Rumah Konseling(asf)