LANGIT7.ID, Jakarta - Malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah kepada para Nabi adalah malaikat Jibril. Terdapat tiga pendapat tentang bagaimana cara Allah menyampaikan wahyu kepada Malaikat Jibril sebelum diturunkan kepada para Nabi-Nya.
Pertama, Allah berbicara langsung kepada Malaikat Jibril. Dalam Al-Qur'an terdapat nash yang menjelaskan pola interaksi Allah dengan malaikatnya. Al-Qur'an menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantara dan menggunakan metode komunikasi yang dipahami malaikat.
اِذْ يُوْحِيْ رَبُّكَ اِلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ اَنِّيْ مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ سَاُلْقِيْ فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوْا فَوْقَ الْاَعْنَاقِ وَاضْرِبُوْا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍۗ
Artinya: (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukullah di atas leher mereka dan pukullah tiap-tiap ujung jari mereka.
Baca Juga: Pengertian Wahyu Menurut Bahasa dan IstilahHal itu diperkuat oleh hadist dari Nuwas bin Sam’an radialahhu anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan. Dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun bergetar dengan getaran atau dia menyatakan dengan goncangan yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika penghuni langit mendengarnya, maka pingsan dan jatuh.
Lalu bersujudlah kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat kepalanya di antara mereka itu adalah Jibril, lalu Allah menyampaikan wahyunya kepada Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat.
Setiap kali dia melalui satu langit, para malaikatnya bertanya pada Jibril: “Apakah yang telah difirmankan Tuhan kita, wahai Jibril?” Jibil menjawab: “Dia mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah Azza wa Jalla”.
Baca Juga: Interaksi Rasulullah SAW dengan Umat Beragama LainKedua, malaikat menghafalnya dari lauhul mahfudz. Al-Qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, berdasarkan firman Allah Surat Al Buruj ayat 21-22: Bahkan ia adalah Al-Qur’an yang mulia yang tersimpan di lauhul mahfuzh.
Demikian juga, Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke Baitul ‘Izzah yang berada di langit dunia pada malam lailatul qadar di bulan Ramadhan, “sesungguhnya kami menurunkannya Al-Qur’an pada lailatul qadar,”(Al-Qadar: 1); “Sesungguhnya kami menurunkannya Al-Qu’an pada suatu malam yang diberkahi.” (Ad-Dukhan: 3) “Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah: 185).
Dari Ibnu Abbas dengan hadist mauquf, “Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lailatul qadar. Setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu Ibnu Abbas membaca ayat, Tidakah orang-orang kafir datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kamu datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penyelesaiannya.” (Al-Furqon: 33) “Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan berangsur-angsur agar kamu membacanya secara perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian (Al-Isra: 106).
Dalam suatu riwayat disebutkan, “Telah dipisahkan Al-Qur’an dan Adz-Dzikr, lalu diletakan di baitul ‘izzah di langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi SAW.”
Baca Juga: Jelang PSIS vs Barito, Kedua Tim Bertekad Akhiri Tren NegatifKetiga adalah maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafaznya dari Jibril, atau Nabi Muhammad. Adapun pendapat ini bila dikaitkan dengan Al-Qur'an merupakan yang terlemah, sebab Al-Qur’an adalah kalam Allah dan lafadnya, bukan dari Jibril atau Nabi Muhamad SAW.
Pendapat ketiga hampir seperti makna sunnah atau hadits qudsi. Sebab, sunnah itu wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Nabi Muhammad SAW secara makna lalu beliau mengungkapkan dengan redaksi sendiri.
"Dia (Muhammad) tidaklah berbicara mengikuti kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm:3-4)
Pendapat yang paling kuat dan sangat diyakini kebenarannya adalah pendapat pertama. Pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah serta diperkuat oleh hadist Nuwas bin Sam’an di atas.
Baca Juga: 7 Selebritas Ini Berjilbab di Usia Muda, Inspiratif Banget!(zhd)