LANGIT7.ID, Jakarta - Ada perbedaan mendasar antara kredit pembiayaan syariah dan konvensional. Produk tersebut kini sedang diminati masyarakat muslim Indonesia untuk menghindari
riba.
Misalnya saja dalam pembiayaan pembelian barang, seperti rumah atau kendaraan. Dalam produk syariah, umat Islam tidak akan dibebankan bunga, seperti
akad utang-piutang dalam perbankan konvensional yang justru menjadi beban berkelanjutan.
Ustadz Abdul Somad menjelaskan, terdapat perbedaan produk pembiayaan konvensional dan syariah. Salah satunya adalah soal akad.
Baca Juga: Apakah Bunga 0 Persen Riba? Jangan Terjebak Trend MarketingDalam produk syariah, perbankan menerapkan akad jual-beli, dan tidak membebani bunga kepada nasabah seperti pada konvensional. Apalagi, bunga dalam Islam termasuk ke dalam riba.
"Ketika mau beli mobil dan tidak punya uang tunai, dealer akan mengarahkan ke penyedia keuangan, kemudian yang dicicil setiap bulan itu bukan mobilnya tapi uangnya, maka terjebaklah pada rentenir atau bahasa kerennya leasing, ini riba," ujar dia dikutip dari kanal YouTube Naseeha TV, Rabu (16/2/2022).
Riba di sini, lanjut Somad, dikarenakan transaksi yang dilakukan adalah uang dengan uang. Maka solusi yang bisa diambil adalah dengan menggunakan jasa keuangan syariah.
Menurutnya, sebagian umat Islam masih menyamakan kesamaan produk yang ada di perbankan syariah dengan konvensional. Padahal terdapat perbedaan dari sisi akad.
"Bank syariah membeli mobil itu dan kita beli mobil tersebut dengan cara dicicil, di sini akadnya adalah uang dengan barang. Kalau uang dengan uang tidak boleh," katanya.
Sementara itu Buya Yahya menjelaskan kredit dalam Islam diperkenankan untuk membeli sesuatu, kecuali emas dan perak. Menurutnya, kredit adalah membeli sesuatu, di mana sebagian dibayar kontan sebagiannya utang.
"Itu kredit, saya bayar kontan DP-nya, selebihnya adalah ngutang, sah. Tapi karena sekarang ini kredit harus melibatkan industri jasa keuangan, maka ada wilayah haram," jelasnya dikanal YouTube Al-Bahjah TV.
Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah itu mengatakan, kredit yang sesuai dengan aturan Islam termasuk dianjurkan. Hal ini dikarenakan, kredit sendiri termasuk ke dalam upaya dalam tolong- menolong.
"Ada orang punya hajat dengan barangnya, tapi belum punya uang. Kita beri (kredit) itu tidak apa, kita punya pahala mengkreditkan, ada pahala karena dia mendapati barang tapi bayarnya nanti dan ini sah-sah saja," jelasnya.
Kendati demikian, lanjut dia, masalah yang ada bukan terdapat pada kreditnya, melainkan kepada siapa seorang muslim berurusan dalam hal ini.
"Ketika showroom berhubungan dengan perbankan (konvensional), dan kita berurusan dengan mereka dalam transaksi kredit, ini berarti kita membeli motor atau mobil yang langsung membayar secara cicil kepada perbankan," jelasnya.
"Dalam hal ini kita sudah mendapatkan dua kerugian, yakni memberikan keuntungan kepada showroom dan yang kedua harus membayar bunga bank," tambahnya.
Untuk itu, produk syariah dapat dijadikan sebagai solusi dari perkara tersebut. Di mana akad yang digunakan perbankan syariah adalah murabahah.
Mengutip OJK, murabahah sendiri merupakan akad pembiayaan suatu barang, dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
"Jadi pihak perbankan akan membiayai pembelian mobil kepada showroom dengan harga tertentu dan menjual kepada kita sebagai pembeli dengan harga sedikit lebih mahal dengan maksud mengambil keuntungan, ini murabahah," jelasnya.
"Akad yang ada di dalamnya adalah jual-beli uang dengan barang, bukan utang-piutang seperti konvensional yang menganut prinsip bunga," sambungnya.
Bahayanya, kata dia, jika pembeli tidak memahami akad yang ada di perbankan syariah dan konvensional, yang dikhawatirkan terjerumus ke dalam perkara ribawi.
"Nanti pembeli membayar ke bank (konvensional) sekaligus dengan bunganya, lantas mobil tersebut dipakai untuk dakwah. Wah ini yang serem," tambahnya.
(bal)