LANGIT7.ID, Jakarta -
Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) menolak kedatangan Jessica Stern yang merupakan Utusan Khusus Amerika Serikat untuk memajukan Hak Asasi Manusia (HAM) kaum
Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer (LGBTQ+). Jessica disebut akan datang ke Indonesia pada 7-9 Desember 2022.
Berdasarkan kajian AILA Indonesia, Jessica Stern adalah aktivis LGBTQ+, yang menggunakan framework Queer sebagai kerangka menafsir HAM. Padahal, Indonesia sebagai bagian dari dunia Islam, secara aklamasi menjadikan Islam sebagai kerangka menafsir HAM sebagaimana termanifestasikan dalam deklarasi Kairo.
Ketua AILA, Rita H. Soebagio, menjelaskan, pemaknaan HAM di Indonesia memiliki ciri yang khas. Makna itu yakni hak dan kebebasan yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
"Oleh karena itu, pemaknaan HAM yang dibentuk oleh pemikiran Barat kontemporer, tidak bisa secara otomatis diterima, apalagi diberi label universal. Harus ada rekonstruksi konsep HAM yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut suatu bangsa," kata Rita melalui keterangan tertulis kepada
Langit7.id, Jumat (2/12/2022).
Baca Juga: Mengapa Negara Barat Ngotot Promosikan LGBT di Piala Dunia Qatar?
Pemaknaan Kemanusiaan Indonesia didasari oleh dua prinsip etika mendasar yakni keadilan dan keadaban yang dijiwai oleh prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, kata Rita, mengakui hak-hak LGBTQ+ adalah tindakan yang keliru.
Pada saat yang sama, prinsip keadilan juga tidak mengafirmasi kekerasan terhadap siapapun. Sedangkan, prinsip keadaban tidak memungkinkan penerimaan falsafah
Queer, karena keadaban dan peradaban hanya mungkin tegak jika ada afirmasi terhadap falsafah prokreasi atau hubungan lawan jenis untuk melanjutkan keturunan.
Sementara, falsafah
Queer justru menegasikan atau setidaknya mendelegitimasi falsafah prokreasi tersebut yang mengancam ketahanan keluarga Indonesia.
Meskipun terdapat resolusi-resolusi Dewan HAM PBB mengenai
gender identity, namun hal tersebut tidak disepakati secara mutlak. Banyak negara yang menolak resolusi tersebut, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Hikmah Islam Larang LGBT: Terbukti Bisa Hancurkan Peradaban Manusia
"Resolusi Dewan HAM PBB juga tidak mengikat secara formal," ujar Rita.
Pemerintah Indonesia adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menjaga rakyatnya dari segala potensi kerusakan. Mengizinkan Stern datang untuk mempropagandakan pemikirannya di Indonesia sama dengan mengafirmasi dan membiarkan masyarakat menjadi permisif terhadap LGBTQ+.
"Pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia harus punya taji dan berani untuk menolak simbol kerusakan moral tersebut sebagai sebuah negara yang berdaulat dan memiliki jati diri yang berketuhanan," kata Rita.
Menurut Rita, segala bentuk propaganda, promosi, dan dukungan terhadap LGBTQ+ sejatinya bertentangan dengan Pancasila, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal tersebut seharusnya menjadi dasar bagi Pemerintah untuk menolak setiap upaya dari pihak manapun yang berusaha mengadvokasi dan menormalisasi LGBTQ+ di Indonesia.
Baca Juga: Bukan Bawaan Lahir, LGBT Penyakit Mental yang Bisa Disembuhkan
Mengacu pada diskusi akademik di kalangan ilmuwan Barat sendiri, misi Jessica Stern ke Indonesia dapat ditafsir sebagai bentuk mutakhir dari “
gay diplomacy”. Itu menjadi penanda penting kebijakan luar negeri AS dan sejumlah negara Eropa lainnya di era kontemporer ini.
Gay diplomacy ini dibangun di atas pondasi menjadikan isu LGBTQ+ sebagai bagian tidak terpisahkan dari isu HAM. Bentuk
gay diplomacy inilah yang ditengarai oleh sejumlah akademisi sebagai bentuk dari
“cultural imperialism” sebagaimana istilah ini juga dipakai oleh negara Afrika dan Islam dalam upaya menolak ‘2011 UN
Gay Rights Resolution’.
"Lebih jauh, kalangan akademisi lain juga menyoroti potensi
gay diplomacy tersebut sebagai bentuk “
pink washing”, yakni upaya menutupi berbagai defisit HAM di berbagai bidang, dengan mencitrakan suatu negara sebagai pembela utama HAM bagi kalangan LGBTQ+," tutur Rita.
Baca Juga: PERSIS Tolak Kampanye LGBTQ
Rita menegaskan bahwa menolak LGBTQ+ bukan berarti tidak merangkul para pelaku yang sudah terlanjur terserang penyakit kelainan seksual tersebut. AILA Indonesia sudah memiliki Lembaga AILA Care dan bekerja melalui jaringan dokter dan para psikolog/psikiater untuk mendampingi para korban agar mereka bisa keluar dari jeratan penyimpangan seksual dan kembali kepada fitrah kemanusiaannya.
(jqf)