LANGIT7.ID, Jakarta - Islam memiliki konsep penting tentang alam. Langit dan bumi sebagai ciptaan Allah merupakan akidah yang harus diyakini. Al-Qur’an pun telah menjelaskan peranan alam terhadap manusia. Demikian juga sebaliknya, manusia diutus sebagai khalifah untuk menjaga kelestarian
lingkungan.
Menurut Ketua Pusat Pengkajian Islam Universitas Nasional, Dr. Fachruddin M. Mangunjaya, di era modern ini, manusia dihadapkan pada krisis lingkungan dan krisis iklim yang sangat mengkhawatirkan.
Bumi yang diciptakan Allah mengalami degradasi atau kerusakan yang sangat massif, baik dalam skala lokal, regional, maupun global. Bumi dengan segala sumber daya memiliki keterbatasan, bukan tidak terbatas. Ini harus disadari segenap umat Islam.
“Kita sekarang ini menghadapi krisis iklim dan
climate emergency itu sudah nyata ada di tengah-tengah kita,” kata Dr Fachruddin di Gedung Cyber Universitas Nasional (Unas), Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2022).
Baca Juga: Pakar: Kerusakan Lingkungan Jadi Ancaman Keamanan bagi Manusia
Kerusakan lingkungan tersebut sudah sangat nyata dirasakan. Fachruddin mencontohkan bencana alam yang disebabkan hidrometeorologi seperti angin puting beliung, tanah longsor, dan hujan yang menyebabkan banjir sudah sering terjadi di Indonesia.
“Kita itu berada di titik 1,1 derajat celcius. Kita harus mencegah itu jangan sampai naik menjadi 1,5 derajat celcius. Anomali disadari sejak revolusi industri. Jadi kambing hitamnya ada gas rumah kaca atau apa yang disebut dengan karbon,” kata Fachruddin.
Konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer mendatangkan malapetaka di seluruh dunia dan mengancam kehidupan, ekonomi, kesehatan, dan pangan. Dunia masih jauh dari aman atas kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celcius seperti yang dijanjikan dalam Perjanjian Paris.
“Ini (ilmuwan dari berbagai negara) masih berdebat, ini mau nunggu 2 derajat atau 1,5 derajat. Kalau kita (ilmuwan Indonesia) jangan sampai 1,5 derajat, 1,1 aja sudah panas kita,” kata Fachruddin.
Baca Juga: KH Ma’ruf Amin: Perubahan Iklim Akibat Ulah Manusia, Umat Islam Wajib Mengatasinya
Pada prinsipnya, efek rumah kaca sama dengan kondisi yang terjadi pada rumah kaca. Panas matahari terjebak di atmosfer bumi dan menyebabkan suhu bumi menjadi hangat. Gas-gas di atmosfer yang dapat menangkap panas matahari disebut gas rumah kaca.
Secara alamiah, gas rumah kaca dihasilkan dari kegiatan manusia sehari-hari. “Ilmuwan sudah sepakat, kalau yang menyebabkan perubahan iklim itu manusia,” ucap Fachruddin. Sejak 1950-an, emisi gas Co2 meningkat secara drastis yang disebabkan oleh kemajuan industri yang berbanding lurus dengan konsumsi energi.
Sumber penghasil gas rumah kaca ada di sekeliling manusia seperti penggunaan energi listrik, aktivitas menggunakan kendaraan bermotor, juga membakar sampah. Bahkan, limbah makanan dari sisa makanan yang membusuk juga menghasilkan gas metana.
“Kita membakar batu bara, gali di Kalimantan bakar di Jakarta. kemudian jadi emisi sehingga terjadi penebalan atmosfer. Itu tiap hari kita bakar,” kata Dr Fachruddin.
Contoh lain kebakaran hutan. Fachruddin mengatakan, di Indonesia, setiap tahun terjadi kebakaran hutan. Emisi (Co2) pembakaran hutan Indonesia pada 2015 sama dengan 1 miliar ton, lebih besar dari emisi tahunan Jerman.
Baca Juga: Waketum Persis: Menjaga Lingkungan Inti Ajaran Islam
“Lahan gambut menyimpan karbon 28 kali lebih besar daripada hutan yang tumbuh di atasnya. Kita punya lahan gambut sangat banyak, makanya pada 2016 Pak Jokowi membuat Badan Restorasi Gambut,” ujar Dr Fachruddin.
Indonesia, kata Fachruddin, sebenarnya sudah menyadari hal ini. Umat Islam pun memiliki peranan penting dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa tentang pembakaran hutan dan lahan serta pengendaliannya.
Fatwa MUI menyebut pembakaran lahan yang dapat merusak lingkungan adalah haram. Fatwa tersebut dikeluarkan pada 27 Juli 2016 atas permintaan dan kerjasama KLHK. Fachruddin menyebut, fatwa tersebut menjadi landasan umat Islam untuk berkontribusi dalam menjaga kelestarian alam.
“Kepada MUI mengeluarkan Fatwa pada 2016, agar tidak lagi membakar hutan. Alhamdulillah, sekarang sudah ada ribuan desa-desa yang berhenti membakar hutan. Tapi ada legitimasi yang kuat dari MUI bahwa secara agama kita harus menjaga itu,” kata Fachruddin.
Di sisi lain, di Bogor pada 9-10 April 2010 juga telah diadakan konferensi bertema ‘Konferensi Internasional untuk Menggalang Aksi Umat Islam dalam Menanggulangi Perubahan Iklim’.
Baca Juga: Iskandar Waworuntu, Mencoba Meraih Berkah dari Bumi hingga ke Langit
Konferensi itu memiliki tiga tujuan. Salah satunya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan para pemimpin, ulama, pakar, ilmuwan, pejabat, dan aktivis lingkungan dari kalangan umat Islam mengenai pentingnya upaya melakukan aksi bersama. Itu untuk menjawab tantangan multidimensi mengenai pemanasan global dan perubahan.
Konferensi itu juga menyepakati tentang pentingnya upaya memperkuat basis ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai negara serta kalangan umat Islam untuk menghadapi tantangan pemanasan global dan perubahan iklim.
Menurut Fachruddin, upaya-upaya seperti itu sudah berhasil membuka mata umat Islam di Indonesia untuk menjaga lingkungan. Pada akhirnya, emisi di Indonesia bisa turun. Meski begitu, dia meminta agar tidak berhenti melakukan aktivitas-aktivitas pelestarian lingkungan.
“Alhamdulillah, sampai sekarang emisi Indonesia turun. Kalau kita bisa tidak menggunakan sepeda motor untuk jalan, transportasi pubik. Kita bisa menghindari pembakaran bensin. (Itu karena) industri kita menggunakan minyak yang berasal dari energi yang tidak terbarukan,” ujar Fachruddin.
(jqf)