LANGIT7.ID - , Jakarta -
Islamofobia semakin marak di Eropa dalam beberapa waktu terakhir. Politikus sayap kanan di Swedia dan Belanda melakukan aksi biadab
membakar dan merobek Al-Qur'an di depan publik.
Presiden Nusantara Foundation
Imam Shamsi Ali menyebut selain ketidaktahuan, faktor sejarah menjadi penyebab munculnya Islamofobia. Hal tersebut berdasarkan pengalamannya saat berkunjung ke Bratislava, Ibu Kota Slovakia.
"Di kota ini bahkan kata Turkish yang kuat dikaitkan dengan Ottoman Empire sangat ditakutkan. Sampai-sampai kopi Turki tidak boleh dinamai “Turkish Coffee”. Tapi disebut dengan “Special coffee," kata Shamsi Ali dalam keterangannya.
Baca juga: Menggali Hikmah dari IslamofobiaSelain faktor sejarah dan kebodohan, Shamsi Ali melihat Islamofobia menjadi kendaraan banyak kepentingan, seperti politik dan capital. Hal ini terlihat dengan dukungan media yang digandengi oleh pemilik modal meraup keuntungan dengannya.
"Sesungguhnya Islamofobia saat ini telah berwujud bisnis dan sumber penghasilan bagi sebagian orang. Kira-kira mirip dengan jalan hidup para buzzer di negara sana," tambahnya.
Shamsi Ali pun memberikan solusi menghadapi Islamofobia di Eropa dan Amerika dengan berperan secara signifikan dalam kehidupan bermasyarakat.
"Istilah lain dari hal ini adalah pentingnya Komunitas Muslim di Barat untuk melakukan integrasi secara positif ke dalam masyarakat dan memainkan peranan signifikan yang akan dirasakan sebagai kontribusi kepada masing-masing negara," sambung Shamsi Ali.
Namun, dia menekankan, berperan aktif dalam kehidupan publik tidak harus dimaknai sebagai "asimilasi" atau melebur ke masyarakat tanpa menjaga keyakinan, nilai-nilai, serta identitas.
Baca juga: Justin Trudeau: Islamofobia Tidak Punya Tempat di Kanada"Justru yang saya maksudkan adalah menjadi bagian dari mainstream dengan menjaga kekhususan-kekhususan kita," terang pria kelahiran 5 Oktober 1967 ini.
Shamsi Ali menyebut ada dua dasar keagamaan yang mendasari poin tersebut. Pertama, karakter Rasulullah SAW yang diutus dari kalangan umatnya.
"Allah yang mengutus kepada “ummiyiin” seorang Rasul dari kalangan mereka”. Penekanan “dari kalangan mereka” menunjukkan bahwa posisi kita sebagai pelanjut risalah (Dakwah) harus menjadi bagian dari mereka," jelas Shamsi Ali.
Dasar kedua adalah dengan menjadi bagian dari mereka maka akan tumbuh rasa percaya diri. Kata Shamsi Ali, "negara tempat kita berada adalah milik kita sebagaimana milik komunitas lain".
Ini akan menjadi penguat dalam mewujudkan karakter umat
rahmatan lil-alamin. Di mana kontribusi hanya akan maksimal ketika merasa menjadi bagian dan pemilik dari negara di mana kita berada.
Baca juga: Islamofobia Makin Marak di Eropa, Begini Cara MengatasinyaPendapat Shamsi Ali sama dengan tokoh Muslim Eropa, Tariq Ramadan, bahwa umat Islam Eropa dan Amerika harus mampu melepas mindset sebagai tamu di negara tersebut. Pola pikir ini harus dibarengi dengan percepatan proses integrasi di negara mereka berada.
Shamsi Ali mengakui, pandangan tersebut terkadang disalahpahami oleh sebagian muslim di Barat. Sehingga pada akhirnya yang terjadi bukan integrasi tapi melebur tanpa menjaga batas-batas yang ditetapkan oleh ajaran dan nilai-nilai agama.
"Karenanya kita melihat ada orang Islam Barat yang jauh lebih liberal, baik pandangan maupun prilaku, daripada orang Barat itu sendiri," pungkas Shamsi Ali.
(est)