LANGIT7.ID-, -
Hammam, pemandian umum khas Turki, menjadi hal yang penting pada masa Kesultanan Utsmaniyah (
Ottoman).
Meski kini hammam tidak lagi digunakan di Turki, namun banyak tempat pemandian umum yang dipulihkan untuk menghidupkan kembali tradisi mandi budaya kuno.
Tahun lalu, Zeyrek Cinili Hammam yang berusia 500 tahun – dibangun pada masa pemerintahan Suleiman Agung oleh arsitek terkenal Ottoman Sinan – dibuka kembali untuk umum setelah
restorasi selama 13 tahun.
Baca juga: Ciragan Palace, Hotel Super Keren Incaran Selebritas, Pejabat dan Orang Orang Top Saat ke IstanbulSelain hammam yang berfungsi, di sini juga terdapat museum yang menjelaskan sejarahnya dan ritual mandi Ottoman.
“Restorasi tersebut berubah menjadi penggalian arkeologi," kata manajer museum Beril Gur Tanyeli kepada AFP, dilansir Rabu (13/11/2024).
“Ditemukan sekitar 3.000 keping ubin yang hilang yang membantu memecahkan teka-teki mengapa hammam ini disebut Cinili, yang dalam bahasa Turki berarti 'ditutupi dengan ubin',". lanjutnya.
Menurut Tanyeli, ubin Iznik, yang melapisi dindingnya, diproduksi secara eksklusif untuk hammam, dan tidak ada
pemandian lain yang memiliki interior kaya seperti itu.
Meskipun sebagian besar rusak akibat kebakaran, gempa bumi, atau dijual ke pedagang barang antik Eropa pada abad ke-19, beberapa masih terlihat.
Restorasi ini juga memperlihatkan beberapa waduk Bizantium di bawah hammam.
“Sinan sang arsitek diyakini membangun hammam di atas waduk ini untuk digunakan sebagai fondasi dan sumber air,” kata Tanyeli.
Gurol Tali, arkeolog, mengatakan dalam tradisi Roma kuno, budaya mandi sangat penting dan menjadi ritual bagi para pedagang untuk mandi sebelum memasuki kota.
Baca juga: Mengenang Sultan Abdul Hamid II, Khalifah Terakhir Pelindung Al-QudsPada masa Kesultanan Utsmaniyah, budaya mandi mengalami masa keemasannya, dengan ritual yang melambangkan kebersihan badan dan kesucian jiwa.
Dalam Islam, seorang muslim wajib menyucikan diri sebelum shalat, yang disebut dengan wudhu.
Hammam juga merupakan tempat untuk merayakan kelahiran dan pernikahan.
“Pemandian digunakan tidak hanya untuk membersihkan tubuh tetapi untuk bersosialisasi, bersantai, menyembuhkan dan bahkan merayakan peristiwa penting dalam hidup, seperti upacara khusus untuk pengantin, tentara dan mereka yang menjalani sunat," kata Tali.
Pada masa itu, rumah tangga tidak memiliki air yang mengalir. Karenanya, hammam merupakan bagian penting dari kehidupan hingga abad ke-19.
Menurut data museum, angka sensus menyebutkan dari tahun 1638 terdapat 14.536 pemandian umum dan pribadi di Istanbul.
Dan tradisi itu masih bertahan hingga saat ini.
Baca juga: 13 Tradisi Unik Umat Islam di Dunia Saat RamadhanSeorang warga, Zafer Akgul mengunjungi salah satu hammam di kota itu bersama putranya yang datang untuk membersihkan diri.
Akgul mengaku sering berkunjung, terutama saat pesta keagamaan atau pernikahan.
“Kami tidak ingin tradisi ini mati.” katanya.
Tali mengatakan, di sinilah hammam kuno Istanbul dapat memiliki tujuan yang lebih besar.
“Memulihkan pemandian bersejarah di Istanbul dan memanfaatkannya mungkin menjadi cara paling efektif untuk mewariskan warisan budaya kepada generasi mendatang,” katanya.
Pemandian terdekat lainnya dari era yang sama, Beyazid II Hammam, juga menjalani restorasi bertahun-tahun dan dibuka kembali sebagai museum pada tahun 2015.
Salah satu hammam terbesar di kota pada saat itu, beberapa sejarawan percaya bahwa di sanalah seorang petugas pemandian laki-laki yang terkenal, atau “tellak,” bernama Halil merencanakan pemberontakan yang pada tahun 1730 menggulingkan Sultan Ahmed III.
Bagi Manolya Gokgoz, yang melakukan publisitas untuk Cemberlitas Hammam, pemandian abad ke-16 lainnya yang dibangun oleh arsitek kerajaan Sinan, hubungannya lebih bersifat pribadi: neneknya bekerja di sana sebagai “natir” – petugas pemandian wanita.
Baca juga: Tradisi Jawa Sambut Tahun Baru Islam, Sedekah Hingga Ziarah“Saat saya berumur dua atau tiga tahun, saya pergi ke pemandian di pagi hari, mencuci dan bermain sendiri hingga malam hari tanpa merasa bosan,” katanya kepada AFP.
Bagi Gokgoz, tradisi ini tetap hidup, meskipun sebagian besar dilakukan oleh wisatawan.
“Dulu, kami pergi ke hammam bersama ibu dan nenek kami. Sekarang 70 persen pelanggan kami adalah wisatawan asing dan 30 persen penduduk lokal,” ujarnya.
Saat ini, biaya layanan standar untuk hammam - termasuk mandi di kolam air panas, hangat, atau sejuk, ditambah fasilitas lain seperti pijat atau peeling – dikenakan harga cukup mahal yaitu 100 dollar AS atau sekitar Rp1,6 juta.
(est)