*Prof.Dr.Bambang Setiaji
LANGIT7.ID-Ekonomi syariah secara ringkas bisa disebut sebagai ekonomi pasar yang diatur, bukan pasar yang sebebas bebasnya. Syariah sendiri bermakna hukum atau aturan.
Pasar yang sebebas bebasnya membawa penderitaan rakyat, karena menganggap bahwa keputusan masyarakat adalah rasional dan selalu memilih apa yang terbaik bagi mereka. Produsen dan konsumen akan memilih yang terbaik bagi mereka.
Konsumen akan melindungi dirinya maka tidak akan membeli suatu barang dan jasa yang merugikan dirinya, sedang penjual akan menjual barang yang baik karena jika menjual barang yng merugikan, maka akan kalah bersaing dan usahanya akan gulung tikar. Terjadilah keseimbangan yang menghasilkan adanya solusi terbaik.
Baca juga:
Kolom Ekonomi Syariah: Trust di Dunia IslamNamun dalam kenyataan bahwa konsumen tidak selalu memilih yang terbaik, misalnya dalam kasus maraknya perjudian, konsumen tidak waras lagi, di mana konsumen bisa mempertaruhkan apa saja asal bisa melanjutkan judi. Menjual apa saja bahkan mencuri atau menipu atau melakukan kekerasan kepada keluarga dan masyarakat. Dalam hal seperti ini hukum dan negara harus datang, karena pasar menghasilkan hal yang buruk dan menghancurkan.
Ekonomi perjudian yang ternyata besarannya sangat tinggi 600 triliun setahun dan menghisap perputaran ekonomi bawah ke atas. Akibatnya ekonomi bawah atau ekonomi rakyat pasti mengalami kesulitan. Agama sejak semula melarang gharar wal maisir, transaksi yang menipu atau mengandung ketidak jelasan, ketidakpastian dan perjudian. Transaksi gharar magnitutenya bisa lebih besar lagi dalam ekonomi dunia, yaitu transaksi transaksi yang barang dan jasa yang kualitas dan kuantitas produknya tidak jelas, baik pada barang yang nyata, seperti misalnya obat, kosmetik, makanan kemasan, makanan non kemasan, sampai kepada barang berbasis mesin dan elektronika, negara, hukum, dan pengawasan harus hadir untuk melindungi masyarakat.
Baca juga:
Kolom Ekonomi Syariah: Pangan Dalam Perspektif Ekonomi SyariahDi pasar keuangan dan permodalan banyak beredar produk produk bodong dan minimal menipu menjual harapan yang merugikan rakyat banyak. Agama sudah sejak awal memeringatkan hal ini, dan memberikan gambaran alangkah modernnya Islam.
Manusia dibekali ghirah untuk menjadi yang terbaik, nomer satu, menjadi orang pertama. Hal ini akan menimbulkan persaingan karena semua dalam posisi lomba ingin menggapai posisi puncak. Dalam hal ini agama memberikan petunjuk bahwa manusia diciptakan membawa kekahawatiran, akan tetapi terdapat manfaat besar dalam memakmurkan bumi tempat tinggal bersama. Dalam posisi lomba atau persaingan maka agama memberikan perintah persaingan dengan jalan yang baik. Baik dalam ekonomi dan politik maka etika, hukum, dan pegawasan harus ditegakkan. Sistem bersaing yang sehat dan baik ini sangat kendor dalam seperempat abad paska reformasi.
Baca juga:
KOLOM EKONOMI SYARIAH: Utlubul Ilma Walau Bi TsinBaca juga:
KOLOM EKONOMI SYARIAH: Apakah Ekonomi Dunia Islam Real Atau Mitos?Di bidang politik terdapat setidaknya money politic yang membuat pemilih tidak waras, dan selanjutnya rekayasa rekayasa taktik taktik yang bahkan sudah melanggar baik etika dan hukum yang lebih sudah berbentuk lebih formal. Jika dalam politik berlaku seperti ini tentu dalam ekonomi terjadi hal yang sama, karena keduanya berada satu iklim hukum atau syariah. Korupsi pasti tinggi, karena para pejabat hidup dan dibesarkan dalam iklim persaingan yang tidak sehat tdak memenuhi unsur persangaingan dalam kebaikan yang dituntunkan oleh agama. Bersainglah dalam koridor kebaikan.
Maka pasar atau persaingan seperti apa yang agama tuntunkan dan yang menjadi kesadaran mendasar kita ? Persaingan yang baik, seperti olah raga yang dibatasi pada garis garis atau bahkan olah raga adu kekuatan seperti tinju yang dibatasi oleh waktu, dan aneka pembatasan. Pasar dan persaingan yang diatur dengan nalar waras baik dalam bidang ekonomi dan persaingan dalam bidang politik. Dalam bidang politik lebih baik kembali kepada sistem pemilihan yang terbatas di mana gharar atau tipuan atau pencitraan akan bisa diminimalisir dan melahirkan kepemimpinan terbaik.
(*Prof Bambang Setiaji, Ketua Majelis Diktilitvang PP Muhammadiyah)
(lam)