LANGIT7.ID--
Khitbah atau
lamaran adalah sebuah upaya untuk menuju ke arah terwujudnya perjodohan antara laki-laki dan perempuan. Khitbah juga bisa dikatakan sebagai proses laki-laki dalam meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara menggunakan hal yang umum dilakukan di masyarakat.
Apakah khitbah kepada seorang perempuan dengan persetujuan orang tuanya dan diumumkan kepada khalayak bisa dipandang sebagai
perkawinan menurut syariat?
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "
Fatwa-fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press) menjelaskan khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar ke sana.
Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin); adat kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan dengan yang sudah kawin; dan syari'at membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut.
Baca juga:
Hukum Islam tentang Khitan bagi Anak PerempuanOleh karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami:
"
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya." (QS Al Baqarah: 235)
Khitbah, kata al-Qardhawi, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja.
Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
"Tidak boleh salah seorang di antara kamu meminang pinangan saudaranya." (Muttafaq 'alaih)
Baca juga:
Hukum Islam Memiliki Kesempatan Besar Diterapkan dalam Zaman ModernKarena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya.
Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara'.
Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang.
Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.
Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahwa lelaki yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan (menceraikan) istrinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewajiban memberi mahar kepada istrinya separo harga.
Baca juga:
Hukum Islam: Metode Istinbath Berdasarkan Petunjuk Umum dalam NashAllah berfirman:
"Jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah ..." (QS Al Baqarah: 237)
Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan cacian.
(mif)