Prof.Dr.Bambang Setiaji
LANGIT7.ID-Polemik pagar laut yang ditentang nelayan, diviralkan netizen, dibantah dengan sertifikat kepemilikan, pembatalan sertifikat, dan terakhir adanya indikasi manipulasi persyaratan pensertifikatan, tentu secara nalar ada sesuatu di balik transaksi tersebut, yakni indikasi rasuah.
Agama jauh jauh hari sudah mengingatkan sebagaimana hadist yang terkenal dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda “Manusia itu berserikat (berhak bersama) dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Ketiga hal tersebut merupakan kekayaan alam yang bersifat barang publik, kepemilikan bersama dalam arti tidak bisa diswastakan, dan pemerintah sebagai wakil negara harus menjaga keberadaannya sebagai barang publik yang semua masyarakat dapat mengakses.
Pensertifikatan dan pemagaran laut yang berfungsi pendangkalan akan berujung pada reklamasi yang menyebabkan masyarakat luas tidak dapat lagi mengakses secara bebas. Ada unsur pencerbutan hak, karena area usaha yang semula berada di pinggir pantai, dengan dimilikinya secara swasta tanah pendangkalan maka usaha yang semula dipinggir pantai menjadi berjarak bisa satu kilomter lebih.
Barang publik adalah barang yang ketika dikonsumsi bersama barang relatif tidak berkurang. Laut, jalan raya, taman, padang rumput dapat diperluas menjadi hutan lindung, api bisa diperluas menjadi listrik dan energi.
Baca juga: Kolom Ekonomi Syariah: Inclusivity Trap Jebakan Inklusiftas
Barang barang publik tersebut menjaganya tentu saja memerlukan biaya, maka dengan tugas menyediakan lebih banyak barang publik misalnya jalan raya, maka pemerintah berhak memungut zakat wajib pada waktu itu dan pada era modern berhak atas pajak. Karena barang publik makin lama makin luas sesuai dengan perkembangan masyarakat, seperti rumah ibadah, pesantren, sekolah, rumah sakit, perbankan, dan perkantoran layanan lain, maka hak pemungutan tersebut seara garis besar dibagi dua: zakat dan pajak. Demikianlah mekanisme menjaga keberadaan barang publik dalam hal pagar laut dan sumber alam yang lain.
Jika pemerintah terbatas baik dalam pembiayaan, manajemen dan khususnya efisiensi, serta teknologi maka pemerintah boleh meminta tolong kepada swasta baik dalam dan luar negeri untuk mengelola kekayaan alam tersebut.
Baca juga: Kolom Ekonomi Syariah: OKI dan Ekonomi Syariah Pengelolaan berbeda dengan pemilikan dalam pengelolaan pemilik negar, sedang dalam pemilikan barang publik sudah berubah menjadi barang swasta. Karena menjadi barang swasta maka bersifat eksklusif, tidak semua orang bisa mengakses lagi secara gratis.
Barang publik ini di negara dengan sistem ekonomi campuran di mana BUMN sangat berperan perlu diperluas dengan keberadaan BUMN. Negara negara dengan peran BUMN yang kuat antara lain Indonesia, China, Rusia, India, negara negara teluk, dan sebagainya. Dengan memilih ekonomi campuran maka BUMN harus berbasis meritokrasi, di mana anak anak terbaik berhak memasukinya, dan menyingkirkan sejauh mungkin kepentingan politik atau kelompok yang bisa menyebabkan salah arah.
Baca juga: Kolom Ekonomi Syariah: Money Politic dan Ekonomi SyariahApakah uang adalah barang publik ? Kepemilikan uang memenuhi syarat sebgai barang swasta, karena uang yang dimiliki seseorang bersifat eksklusif dan rivalry, tidak bisa diakses orang lain. Tetapi dalam kebijakan umum seperti pengendalian pencetakan, menjaga kestabilan nilainya, dan kebijakan moneter yang lain memenuhi kaidah sebagai barang publik. Kebijakan keuangan harus menjaga jangan sampai masyarakat terutama kelompok marginal menjadi terdampak.(*Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah)
(lam)