LANGIT7.ID-Jakarta; Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an LP3IA Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, mengkritisi keras stigma yang berkembang di masyarakat terkait metode penentuan awal bulan Hijriah. Menurutnya, pandangan yang mengkotak-kotakkan NU dengan rukyat dan Muhammadiyah dengan hisab adalah pemahaman yang sama sekali keliru.
"Yang bilang NU itu rukyat dan Muhammadiyah itu hisab siapa? Orang alim tidak ada yang ngomong begitu," tegas Gus Baha dalam pengajiannya. Ia mengibaratkan kesalahan pandangan ini seperti perdebatan qunut antara NU dan Muhammadiyah, dengan mempertanyakan secara kritis, "Apa Imam Syafi'i itu Rois 'Aam NU? Apa Abu Hanifah ketua PP Muhammadiyah?"
Pengajar yang dikenal dengan penjelasan mendalam tentang kitab kuning ini menekankan bahwa tradisi ulama sejak dahulu lebih mengutamakan dalil-dalil ilmiah dibandingkan sekadar mengikuti organisasi masyarakat. Ia menegaskan bahwa perbedaan dalam penentuan awal Ramadan atau Idul Fitri seharusnya tidak menjadi pemicu perpecahan di kalangan umat Islam.
Gus Baha mencontohkan bagaimana kedua metode ini sebenarnya saling melengkapi. Ia menjelaskan pengalaman saat penentuan 1 Syawal tahun lalu, di mana posisi hilal mencapai 3 derajat. "Andaikan tidak ada pengumuman Pemerintah pun saya sudah Lebaran. Karena kalender Muhammadiyah juga 3 derajat, kalender NU sudah di atas 2,5 derajat," jelasnya.
Dalam penjelasannya, Gus Baha juga menyoroti pentingnya hisab sebagai ilmu yang dibenarkan dalam Al-Quran. Ia mengutip Surat Al-Furqan Ayat 61 yang berbunyi:
تَبَارَكَ ٱلَّذِى جَعَلَ فِى ٱلسَّمَآءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَٰجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا
"Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan menjadikan di dalamnya pelita (matahari) dan bulan yang bercahaya," sebagai salah satu landasan kuat penggunaan ilmu hisab.
Lebih lanjut, ia mengutip ayat lainnya yang berbunyi:
وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
"Agar kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)."
Pengasuh pesantren ini menjelaskan bahwa dalam mazhab Syafi'iyah, seseorang diperbolehkan menggunakan hisab asalkan bersifat qath'i (pasti) atau telah dikonsensuskan oleh para ahli. "Kalian meskipun memiliki tradisi pesantren, jangan menolak hisab. Salah! Hisab itu dibenarkan Alquran," tegasnya.
Terkait akurasi hisab, Gus Baha memaparkan bahwa ilmu ini memiliki tingkat ketepatan yang sangat tinggi. "Menghitung menit saja bisa, kok menghitung hari tidak dipercaya? Apa kalau mau sholat gerhana harus menunggu rukyat dulu? Nyatanya sore harinya sudah diumumkan. Percaya hisab dulu apa rukyat dulu? Hisab kan?" jelasnya.
Namun demikian, ia juga mengingatkan bahwa untuk kasus tertentu seperti penentuan Dzulhijjah, ketika ada perbedaan pendapat mengenai ketinggian hilal yang masih di bawah 2 derajat, maka rukyat lebih diutamakan karena masih ada subjektivitas dalam hisab. Hal ini menunjukkan bahwa kedua metode ini seharusnya berjalan beriringan, bukan dipertentangkan.
"Kalau anti hisab, ya bakar saja kalendernya! Kan kita sendiri yang punya banyak pakar hisab. Ilmu ini dari ulama kita sendiri. Jangan suka anti ilmu yang disebut dalam Alquran," pungkas Gus Baha sambil menekankan pentingnya memahami kedua metode ini secara ilmiah tanpa terjebak dalam konflik identitas organisasi.
(lam)