LANGIT7.ID-
Idulfitri diperkirakan akan jatuh pada hari Senin, 31 Maret 2025. Setidaknya Muhammadiyah sudah menetapkan begitu. Itu bermakna bahwa puasa tahun ini digenapkan 30 hari.
Idul Fitri ditandai dengan salat dua rakaat, biasanya di lapangan atau di masjid. Lalu, bagaimana sebenarnya kedudukan hukum
salat id?
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang hukum salat Idul Fitri:
Pertama, salat Id hukumnya sunah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Kedua, Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya salat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan salat Id itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Hambali.
Ketiga, Fardhu ‘Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Lalu apa dalil ulama yang mewajibkan salat id?
Para pengikut pendapat ketiga, bahwa salat id adalah fardhu ain, berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Baca juga: Hukum Salat Id Menurut Mazhab Maliki dan Syafii Sunnah Muakkadah, Mazhab Hanafi Wajib AinBeliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa salat ‘Id adalah wajib ‘ain (kewajiban per kepala). Beliau pun menyebutkan bahwa para sahabat dulu melaksanakan salat ‘Id di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorang pun untuk melaksanakan salat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa salat ‘Id termasuk jenis salat Jumat, bukan termasuk jenis salat-salat sunnah. Nabi SAW juga tidak pernah membiarkan salat ‘Id tanpa khotbah, persis seperti dalam salat Jumat.
Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (doa meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam salat dan khotbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdoa di atas mimbar atau tempat-tempat lain.
Oleh karena itulah Abu Hanifah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk doa, ia berpandangan bahwa tidak ada salat khusus untuk istisqa’. Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami salat (‘Id) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah.
Andaikata sholat Id itu sunnah, tentu Sayyidina Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.
Dalil lain ialah bahwa Nabi SAW memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari Id dan doa kaum Mukminin.
Baca juga: Hukum Islam tentang Khitan bagi Anak Perempuan Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak salat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika ada di antara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa: ”Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab, beliau tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab : “Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya”. [Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, sedangkan lafaznya adalah lafal Imam Muslim]
Padahal dalam salat Jum’at dan salat berjamaah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita). “Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. Juga bahwa salat Jum’at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan salat ‘Id (yang tidak ada gantinya).
Salat Id hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan salat Jumat yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun).
Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan salat ‘Id, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju salat ‘Id.
Beliau dan kemudian disusul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan salat ‘Id. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negeri Islam salat ‘id ditinggalkan, sedangkan salat ‘Ied termasuk syi’ar Islam yang paling agung.
Firman Allah berbunyi: "Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya”. [Al-Baqarah : 185].
Ibnu Taimiyah dalam "Majmu’ Fatawa" menegaskan pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakbir pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan salat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka’at pertama dan raka’at kedua.
Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Id dan Jumat bertemu, maka (hari) ‘Id menggugurkan kewajiban salat Jumat.
Baca juga: Hukum Islam Memiliki Kesempatan Besar Diterapkan dalam Zaman Modern Padahal salat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib.
Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadis (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.
Pertama, mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan salat Jumat, sehingga apalagi salat Id.
Kedua, mungkin pula karena hadis tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban salat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal salat Id termasuk kewajiban salat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian.
Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam “Kitab ash-Shalah”.
(mif)