LANGIT7.ID-Masa pemerintahan
Umar bin Khattab adalah masa perang dan penaklukan, dengan kemenangan yang selalu berada di pihak Muslimin. Kedaulatan mereka itu meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Anatolia dan Laut Kaspia di utara, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat dan kawasan Nubia di selatan.
Di samping itu, mengadakan perluasan sampai daerah-daerah itu di luar keinginan Umar atau Abu Bakar pendahulunya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Lintera AntarNusa, 2000) menyebut politik Umar ialah hendak menggabungkan semua ras Arab ke dalam satu kesatuan yang membentang dari Teluk Aden di selatan sampai ke ujung utara di pedalaman Samawah - Irak dan Syam termasuk ke dalam kesatuan itu - karena kekuasaan di sana berada di tangan Arab Banu Lakhm dan Banu Gassan.
Akan tetapi sesudah semua itu selesai, ia ingin hanya sampai di perbatasan itu, jangan melampaui.
Angan-angannya, sekiranya antara dia dengan Persia dibatasi oleh sebuah gunung dari api, masing-masing tidak saling berbaur, dan antara dia dengan Romawi dibatasi oleh sebuah bendungan yang akan merintangi mereka kembali ke tanah yang sudah dibebaskan itu.
Baca juga: Ilmu Fikih: Kisah Debat Umar bin Khattab dengan Ammar bin Yasir tentang Junub Tetapi beberapa peristiwa sering lebih kuat dari manusia, dan peristiwa-peristiwa itulah yang telah mendorong Muslimin meneruskan langkah pembebasan itu dan sudah sampai sejauh daerah-daerah yang kita lihat.
Menurut Haekal, penaklukan ini telah membuat dunia ketika itu bingung, begitu juga para sejarawan yang telah merinci semua peristiwa dan berusaha menyelidiki sebab-sebabnya.
Segala penyebab yang berhubungan dengan kejiwaan prajurit-prajurit Muslimin dan dengan kejiwaan lawan mereka - Romawi dan Persia.
Sistem PemerintahanDi samping itu, ada faktor lain yang memberi dampak besar maka penaklukan itu berlanjut, yaitu sistem pemerintahan di Semenanjung Arab.
Selama dua puluh tahun sesudah Rasul hijrah sistem ini telah mengalami perkembangan yang memungkinkan orang-orang Arab menghadapi peristiwa-peristiwa sejarah yang luar biasa dengan tenang dan pasti, yang membuat mereka makin percaya diri, merasa lebih kuat, dengan keyakinan bahwa mereka mengemban sebuah misi yang harus disampaikan kepada dunia, dan dunia pun harus mendengarkan.
Oleh karena itu tak ada kekuasaan yang dapat merintanginya, tak ada kekuatan yang mampu menghadangnya dalam meneruskan misinya itu.
Baca juga: Di Zaman Umar bin Khattab Salat Tarawih Sampai Subuh: Yang Dibaca Surat al-Anfal sampai Al-Sajadah Sistem pemerintahan ini bukanlah sebuah hasil pemikiran rasional, juga bukan karena salah satu karya para ahli hukum dan para anggota dewan pembuat undang-undang yang mengadakan pertemuan dan membahasnya lalu berakhir dengan dituangkannya ke dalam suatu keputusan, kemudian Rasulullah atau para penggantinya memerintahkan agar dilaksanakan. Tidak!
Pemerintahan yang baru tumbuh ini berkembang begitu cepat, pertumbuhan dari mulai bayi, menjadi masa anak-anak sampai masa muda remaja.
Oleh karenanya, mau tak mau siapa pun yang memegang kekuasaan akan melihat keadaan itu sejalan dengan kondisi pertumbuhannya, dan perhatiannya pertama-tama akan diarahkan pada segalanya untuk mengatur pusat kekuatan yang mendorong lahirnya kondisi dan pertumbuhan itu, dan akan bekerja untuk mempererat segala ikatan antarsemua komponen pemerintahan serta menggalang adanya kerja sama yang serasi.
Kekuatan pendorong yang memancar dari negeri-negeri Arab ini sebelum lahirnya penyatuan itu, atau lahirnya sebuah sistem yang mantap, kemudian menyebar kepada bangsa-bangsa lain.
Sebelum dikenal bangsa ini, sistem kesatuan yang stabil sudah lebih dulu dikenal oleh negara-negara tetangga. Sistem pemerintahan Persia sudah digelar di Irak, dan sistem pemerintahan Bizantium sudah pula berjalan di Syam. Tak pernah terlintas dalam pikiran orang Madinah hendak meniru salah satu sistem itu, dan tak ada pula yang berusaha hendak menggariskan di atas kertas sebuah sistem pemerintahan yang sepenuhnya model Arab, atau sepenuhnya Islam, yang akan diterapkan dalam kedaulatan negeri-negeri di dekatnya atau yang jauh.
Baca juga: Kisah Umar bin Khattab Dianggap Sinting: Tertawa dan Menangis Sendiri Jika ada di antara mereka yang sempat berpikir ke arah seperti ini, niscaya selama bertahun-tahun mereka hanya akan membuat corat coret lalu menghapusnya kembali kemudian mencatatnya lagi sebelum dapat disesuaikan dengan sistem ini - suatu kesatuan yang berlaku di semua kawasan yang beraneka ragam itu.
Dalam masa pembebasan yang begitu luas dengan langkah yang begitu cepat, sudah tentu tak akan ada lagi kesempatan untuk mengerjakan semua itu, dan tak akan mampu.
Masa pembebasan, kata Haekal, sesuai dengan sifatnya, merupakan masa kerja keras yang dibawa oleh berbagai peristiwa waktu itu. Kalau pembebasan itu berlangsung begitu cepat seperti yang terjadi di masa-masa Abu Bakr dan Umar, sistem itu seharusnya akan berjalan menurut bawaan kekuasaan yang biasa berlaku, tidak lagi pada logikanya, dan dalam perkembangannya kekuasaan itu akan sejalan dengan pola pembebasan, yang tidak akan mendahului dan tidak pula tertinggal.
(mif)