LANGIT7.ID-Di tengah debat tak kunjung usai tentang
pakaian syar’i, jilbab, cadar, atau gamis modis di media sosial dan ruang publik, Al-Qur’an justru menghadirkan narasi yang lebih dalam dan fungsional. Bukan hanya perkara kain menutup tubuh, tapi pakaian dalam pandangan Islam juga menyentuh aspek psikologis, sosial, bahkan spiritual.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, lewat bukunya "
Wawasan Al-Qur’an", mengurai minimal empat fungsi utama pakaian menurut Al-Qur’an: menutup aurat, sebagai perhiasan, pelindung dari bahaya, dan penanda identitas. Sebuah spektrum fungsi yang tidak berhenti di batas jahitan kain, melainkan juga menembus ruang batin pemakainya.
Penutup Aurat: Menjaga dari Malu, Bukan MenghakimiAyat dalam Surat Al-A’raf (7): 26 menjadi titik tolak: "Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah sebagai perhiasan..."
Kata saw’ah atau aurat secara etimologis berasal dari akar kata yang berarti “buruk” atau “memalukan”. Tapi buruk di sini bukan dalam makna ontologis, bahwa tubuh itu jorok atau menjijikkan. Buruk karena berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan sosial. Maka, pakaian hadir sebagai penyangga nilai malu dan adab.
Baca juga: Pakaian dalam Al-Quran: Menutup Aurat Kewajiban Syariat dan Dorongan Kodrati Menariknya, dalam Islam, menutup aurat tidak hanya berlaku di ruang publik, tapi juga saat seseorang sendirian, kecuali dalam keadaan tertentu seperti ketika mandi atau bersama pasangan. Bahkan, hadis Nabi mengisyaratkan bahwa malaikat pun enggan mendampingi manusia yang telanjang tanpa alasan.
Namun, batas aurat itu sendiri diperdebatkan para ulama. Untuk laki-laki, mayoritas mazhab menyepakati dari pusar ke lutut. Sedangkan perempuan, pendapat umum menyebut seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Tapi sebagian, seperti Imam Ahmad, menyatakan seluruh tubuh termasuk wajah adalah aurat.
Pakaian sebagai Perhiasan: Antara Keindahan dan KesopananMasih dari surat yang sama, fungsi kedua pakaian adalah sebagai zinah, perhiasan.
Bagi Abbas Al-‘Aqqad, filsuf Mesir yang dikenal gemar mengaitkan sastra dan teologi, keindahan adalah gabungan dari kebebasan dan keserasian. Maka, pakaian yang indah bukan sekadar bermerek atau berwarna cerah, melainkan juga memberi ruang bagi kenyamanan tubuh dan ketenangan batin.
Tapi keindahan dalam Islam tetap berpagar nilai. Nabi Muhammad dikenal gemar mengenakan pakaian putih yang bersih. Beliau menegaskan bahwa Allah itu indah dan menyukai keindahan, namun menolak kesombongan. Keindahan yang mendorong superioritas sosial bukanlah keindahan, tapi riya’.
Baca juga: Pakaian dalam Al-Quran: Pertarungan antara Jalan Kembali dan Jalan Tersesat Al-Qur’an secara eksplisit melarang sikap berlebihan dalam berhias, seperti perilaku tabarruj kaum jahiliah. Bahkan aroma parfum yang menyengat saat melewati kerumunan lelaki bisa dianggap sebagai bentuk pencitraan sensual yang dilarang.
Fungsi Proteksi: Pakaian sebagai Tameng Fisik dan BatinDalam Surat Al-Nahl (16): 81, Al-Qur’an memperluas fungsi pakaian:
"Dan Allah menjadikan untukmu pakaian yang memelihara kamu dari panas, dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan."
Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur menafsirkan bahwa yang disebut libāsut-taqwā atau “pakaian takwa” bukanlah kiasan, melainkan sesuatu yang nyata, semacam baju zirah yang melindungi tubuh dari bahaya. Tafsir ini muncul dari varian qira’at (bacaan) yang menjadikan “libāsan” sebagai objek.
Takwa, dalam konteks ini, hadir bukan hanya sebagai kesadaran batiniah, tapi juga sebagai sarana proteksi: perlindungan spiritual dan sosial agar tak terseret dalam kerusakan.
Identitas dan Pembedaan: Ketika Pakaian Bicara StatusSurat Al-Ahzab (33): 59 menyematkan fungsi lain: identitas sosial. Jilbab bukan sekadar sehelai kain panjang, tapi juga kode yang mempermudah masyarakat mengenali seseorang sebagai perempuan Muslimah, dan karena itu harus dihormati.
Baca juga: Kenakan Pakaian yang Tidak Akan Dihina Orang Bodoh dan Tidak Dicela Kaum Filsuf "Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal dan tidak diganggu."
Dalam ayat ini, pakaian bukan lagi sekadar alat penutup tubuh atau penanda keindahan. Ia menjelma menjadi benteng martabat. Sebuah konstruksi sosial di mana pemakai jilbab dapat menegosiasikan ruang publiknya dengan rasa aman dan kejelasan status.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa identitas lewat pakaian juga bisa menjadi alat politik. Dari penolakan cadar di Prancis hingga kewajiban hijab di Iran, politik pakaian tak pernah netral. Di titik ini, tafsir literal kadang diseret ke dalam arena kekuasaan.
Empat fungsi pakaian menurut Al-Qur’an memperlihatkan bahwa Islam tidak memandang tubuh manusia dengan hina, melainkan memuliakannya lewat etika visual dan spiritual.
Pakaian dalam Islam bukan sekadar kebutuhan, tapi ekspresi. Ia bisa menjadi ibadah, bisa juga jebakan sosial. Maka, mengenakan pakaian bukan cuma soal trend, tapi juga niat dan kesadaran.
Jika diibaratkan sebagai teks, pakaian adalah paragraf pertama yang dibaca publik dari seorang manusia. Maka, seperti pesan Quraish Shihab, berpakaianlah dengan nilai, bukan sekadar gaya. (*)
Baca juga: Berniat Tutup Aurat, Celine Evangelista: Pakaian Tertutup Membuatku Nyaman(mif)