LANGIT7.ID-Debat tentang poligami tak pernah padam di ruang publik Indonesia. Antara yang membela atas nama sunah dan yang menolak atas nama keadilan, perdebatan ini terus bergerak di antara teks dan konteks. Namun, dalam pembacaan tafsir
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an, posisi Al-Qur’an terhadap poligami tidak sesederhana dikotomi boleh atau tidak boleh.
Surat Al-Nisa’ [4]: 3 menjadi rujukan klasik: "Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja..."
Banyak yang mengutip bagian tengah ayat ini untuk melegitimasi praktik poligami. Namun, dalam pembacaan Quraish Shihab, konteks awal ayat tak boleh diabaikan. Ayat ini turun, menurut riwayat
Aisyah r.a., untuk menegur pria yang berniat menikahi anak-anak yatim yang berada di bawah asuhannya demi harta dan kecantikan mereka, tanpa niat untuk memberi mahar atau perlakuan adil. Maka kalimat tentang menikahi dua, tiga, atau empat perempuan, adalah peringatan untuk tidak berlaku
zalim.
Baca juga: Di Balik Hukum Asal Poligami dan Realitas yang Tak Sederhana Dengan kata lain, seperti dijelaskan Quraish Shihab, struktur kalimat ayat ini justru lebih menyerupai sebuah larangan yang diperhalus. Ibaratnya seseorang berkata, “Jika Anda khawatir makanan ini membuat Anda sakit, makan saja yang lain, sebanyak yang Anda suka.” Maka yang ditekankan bukanlah keabsahan makan banyak, tetapi larangan menyentuh makanan tertentu.
Namun ayat ini pula yang menjadi dasar bolehnya poligami. Nabi Muhammad SAW menegaskan batasannya: maksimal empat istri dalam waktu bersamaan. Dalam riwayat Malik, An-Nasa’i, dan Ad-Daraquthni, Nabi bersabda kepada Ghaylan bin Umayyah yang saat itu memiliki sepuluh istri: “Pilihlah empat dan ceraikan sisanya.”
Yang sering luput dari perdebatan publik ialah bahwa Al-Qur’an tidak sedang mempromosikan poligami. Ia hanya mengakui praktik yang sudah eksis sejak sebelum Islam datang, dan memberinya bingkai hukum dengan syarat ketat. Poligami, menurut Quraish Shihab, bukan kewajiban, bukan anjuran, bahkan bukan pula idealitas. Ia adalah “pintu darurat kecil” untuk kondisi-kondisi tertentu, seperti istri yang mandul, sakit berat, atau kebutuhan sosial lainnya.
Maka tidak bijak membahas poligami semata-mata dalam kerangka moral baik dan buruk. Ia harus diposisikan dalam kerangka hukum universal Islam, yang bersifat adaptif terhadap keragaman situasi. Sama seperti hukum Islam membolehkan talak, tapi tidak mendorongnya terjadi tanpa alasan kuat.
Baca juga: Mastur Ngaku Ogah Poligami: Udah Punya Cucu, Mau Ngapain Lagi? Namun, pintu darurat ini bukan tanpa pengaman. Syarat utamanya adalah keadilan. Sayangnya, keadilan inilah yang paling sulit dipenuhi. Al-Qur’an sendiri menyatakan dalam Al-Nisa’ [4]: 129: "Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian."
Ayat ini menyentuh keadilan di tingkat batin—cinta, perasaan, dan kecenderungan hati—yang tidak bisa dikontrol sepenuhnya. Karena itu, Al-Qur’an mengingatkan agar tidak terlalu condong pada salah satu istri sehingga yang lain merasa ditelantarkan.
Dengan dua jenis keadilan inilah, poligami dibingkai: keadilan lahiriah (nafkah, tempat tinggal, giliran) dan keadilan batiniah (afeksi, empati, perhatian). Dan jika keduanya sulit dipenuhi, maka pintu darurat itu pun sebaiknya tidak dibuka.
Quraish Shihab dalam narasi tafsirnya mengingatkan agar umat tidak menjadikan ayat-ayat poligami sebagai dalih untuk membuka peluang dominasi laki-laki atau merusak kehormatan perempuan. Bagi beliau, hukum Islam bersifat rasional dan realistis, tetapi tetap menuntut moral tinggi. Maka poligami tetap sah, tapi bukan tanpa beban tanggung jawab.
Dalam masyarakat modern yang menjunjung kesetaraan dan semakin peka terhadap hak-hak perempuan, pintu poligami yang dibuka oleh Al-Qur’an perlu dibaca bukan sebagai ajakan, melainkan sebagai ruang tanggap darurat—yang hanya bisa dimasuki jika semua syarat dipenuhi. Jika tidak, pintu itu bisa berubah dari solusi menjadi sumber luka.
Baca juga: Kolom Ngabuburit Senja: Poligami: Pembatasan Bukan Pembebasan(mif)