LANGIT7.ID-Suatu malam yang sunyi di Bistam. Yahya Ibnu Mu’adz duduk mengamati sosok karismatik di hadapannya. Bayazid Bistami berdiri usai salat malamnya yang panjang, dan memandang ke langit sambil berucap lirih, seperti dicatat dalam 
The Alchemy of Happiness karya al-Ghazali (Ashraf Publication, 1979):
"O Tuhan! Beberapa hamba-Mu meminta kemampuan berjalan di atas air, terbang di udara, atau mukjizat lain. Namun, bukan itu yang kuminta. Yang lain meminta harta benda, itu pun bukan yang kuminta. Yang kuingini hanyalah Engkau."
Ketika menyadari kehadiran Yahya, Bayazid hanya bertanya sederhana, “Engkaulah yang di sana itu, Yahya?” Dan ketika Yahya meminta sang wali mengungkap rahasia pengalaman rohaniahnya, Bayazid berkata:
"Yang Kuasa mempertunjukkan kerajaan-Nya kepadaku, dari yang paling mulia hingga yang terendah. Ia mengangkatku ke atas ‘Arsy dan Kursi-Nya serta langit ketujuh. Lalu Ia berkata: ‘Mintalah apa saja yang kau ingini.’ Aku menjawab: ‘Ya Allah, aku tidak menginginkan apa pun selain Engkau.’ Dan Dia berfirman: ‘Sesungguhnya engkau adalah hamba-Ku.’”
Di kalangan 
sufi, pengalaman Bayazid itu dikenal sebagai fana’—sirnanya keakuan di hadapan Yang Mutlak. Tetapi jalan menuju fana’, bagi Bayazid, bukan sekadar shalat panjang atau puasa panjang. Seorang sahabatnya yang mengaku telah beribadah selama 30 tahun, namun tak juga menemukan “kebahagiaan rohaniah”, hanya mendapat jawaban mengejutkan.
Baca juga: Imam Al-Ghazali: Melihat Wajah-Nya, Kebahagiaan yang Terlupakan "Kalau pun engkau beribadah 300 tahun, engkau tak akan mendapatinya," kata Bayazid, seperti dituturkan Al-Ghazali dalam buku yang diterjemahkan Haidar Bagir (Kimia Kebahagiaan, Mizan). Penyebabnya: perasaan mementingkan diri sendiri telah menjadi tirai antara dirimu dan Allah.
Tirai itu, bagi Bayazid, hanya bisa dirobek dengan cara yang bagi manusia biasa terdengar hina dan ekstrem. Ia menyarankan sahabatnya bercukur botak, melepas jubah, mengenakan korset, membawa kantong kenari ke pasar, dan berteriak: “Siapa saja yang memukul tengkukku akan mendapatkan buah kenari!” Lalu berjalan ke majelis para qadhi dan faqih dalam keadaan demikian.
Ketika sang sahabat mengeluh tak sanggup, Bayazid hanya bergumam: "Itu tadi baru permulaan penyembuhan, dan kau sudah tak sanggup."
Sebagaimana dicatat Al-Ghazali, cara ini memang bukan sekadar ritual aneh. Melainkan terapi untuk membakar habis ambisi, kesombongan, dan rasa ingin dihormati. Ambisi—yang sering kita anggap sebagai bahan bakar pencapaian—bagi Bayazid justru menjadi dinding tebal yang memisahkan makhluk dengan Penciptanya.
Dalam catatan yang sama, Al-Ghazali juga mengutip Isa a.s.: “Jika Kulihat di hati para hamba-Ku kecintaan murni kepada-Ku, yang tak ternoda oleh nafsu dunia, maka Aku sendiri akan menjaga cinta itu.” 
Baca juga: Mencintai Allah: Jalan Sunyi Menuju Kejernihan Jiwa Menurut Imam Al-Ghazali Bahkan Rabi’ah Al-Adawiyah pernah berkata bahwa cintanya kepada Allah telah mencegahnya mencintai makhluk. Dan Ibrahim bin Adham memandang surga pun tidak ada artinya dibanding kebahagiaan mencintai dan mengingat-Nya.
Begitulah ajaran para sufi yang lebih sering memilih jalan sunyi, yang bagi orang awam terlihat sebagai kegilaan, namun bagi mereka adalah satu-satunya cara menyingkap tabir menuju Sang Kekasih.
Di mata Bayazid, The Alchemy of Happiness bukanlah soal mukjizat, harta, atau surga. Kebahagiaan tertinggi adalah ketika diri tak lagi ada, dan hanya Dia yang tersisa.
(mif)