LANGIT7.ID-Di bawah langit kelabu Damaskus pada tahun 16 Hijriyah, bau kematian menyeruak dari segala penjuru. Wabah Tha’un—penyakit pes di masa itu—menggulung Negeri Syam, merenggut ribuan nyawa. Sekitar 25 ribu orang wafat, termasuk salah satu
sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling dicintai dan dihormati:
Abu Ubaidah ibn al-Jarrah.
Di ujung hayatnya, panglima yang sederhana itu berdiri di tengah pasukannya yang dilanda duka dan demam. Suaranya masih lantang ketika berwasiat, “Jika kalian menerima wasiatku ini, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik. Dirikanlah shalat, berpuasalah di bulan Ramadhan, bayarlah zakat, tunaikan haji dan umrah. Salinglah menasihati, jangan biarkan pemimpin kalian tersesat, dan jangan tergoda oleh dunia…”
Ia lalu menoleh kepada
Muadz bin Jabal, berkata lirih, “Wahai Muadz, sekarang kau yang menjadi imam.” Tak lama kemudian, Abu Ubaidah pergi menghadap Tuhannya, dengan senyum tenang di wajahnya.
Abu Ubaidah lahir di Makkah dengan nama Amir bin Abdullah bin Jarrah al-Fihry al-Qurasyi. Di kalangan Quraisy, ia bukan orang biasa. Dialah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijanjikan surga. Tak lama setelah Abu Bakar memeluk Islam, ia datang kepada Rasulullah bersama Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh’un, dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucap syahadat. Sejak saat itu, ia menjadi salah satu pilar awal bangunan Islam.
Baca juga: Karakteristik Fikih Sahabat Nabi Muhammad SAW: Lahirnya Syiah dan Sunni Namanya tak pernah absen dari medan perang. Badar, Uhud, Khandaq, semuanya ia jalani tanpa gentar. Di Badar, sebuah peristiwa menyayat terjadi: ia berhadapan dengan penunggang kuda musyrik yang tak lain adalah ayahnya sendiri, Abdullah bin Jarrah. Dengan pedang terhunus, ia membelah kepala ayahnya. Bukan karena benci, tetapi karena memilih iman di atas segalanya.
Al-Qur’an bahkan mengabadikan keteguhannya: "
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara atau keluarga mereka…" (QS Al-Mujadilah: 22)*
Abu Ubaidah bukan hanya kuat, tetapi juga dikenal sangat amanah dan lembut. Rasulullah menyebutnya sebagai *amin* umat ini. Abdullah bin Umar bahkan menilai wajahnya bercahaya, akhlaknya tinggi, dan pemalunya setara dengan Abu Bakar dan Utsman bin Affan.
Ketika kaum Nasrani meminta seorang hakim dari Rasulullah, beliau berkata, “Datanglah sore nanti, aku akan kirim kepada kalian orang kuat yang terpercaya.” Umar bin Khattab sempat berharap itu adalah dirinya. Namun Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah.
Baca juga: Ilmu Fikih: Penyebab Ikhtilaf di Kalangan Sahabat Nabi Muhammad SAW Setelah wafatnya Rasulullah, Abu Ubaidah sempat ditawari menjadi khalifah di Saqifah. Namun ia menolak. “Aku tidak akan mendahului orang yang pernah diangkat Rasulullah menjadi imam shalat kita—Abu Bakar,” ujarnya.
Ia kemudian menjadi panglima perang di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab. Dari tepian Sungai Eufrat hingga Asia Kecil, pasukan Islam berjaya di bawah komandonya. Sampai wabah datang.
Ketika Umar meminta agar ia meninggalkan Syam untuk menyelamatkan diri, Abu Ubaidah menolak. Ia memilih tinggal bersama prajuritnya, menolak lari dari takdir. Wabah itulah yang akhirnya menjemputnya.
Setelah wabah reda, rakyat kembali ke Damaskus, berziarah ke pusaranya yang sederhana. Wajahnya, seperti digambarkan para sahabat semasa hidup, selalu cerah dan tersenyum. Seolah, bahkan dalam kematian, Abu Ubaidah masih ingin menenangkan orang-orang yang ditinggalkannya.
Di sanalah, di antara bisikan doa dan kenangan para sahabat, nama seorang panglima tetap harum di langit Damaskus: amin hadzihi al-ummah, orang terpercaya umat ini.
Baca juga: Pandangan tentang Modernisasi Tafsir: Hadis dan Pendapat Sahabat Nabi(mif)