LANGIT7.ID-Di bawah terik matahari
Madinah yang kejam, seorang pemuda bertelanjang kaki berjalan mengikuti bayangan seekor unta. Di punggung unta itu duduk seorang raja dari Hadhramaut, baru masuk Islam, berwibawa namun belum luluh. Pemuda itu bernama
Muawiyah bin Abi Sufyan. Kala itu, ia tak lebih dari seorang pelayan miskin yang baru dua tahun memeluk Islam.
Itulah perjumpaan pertama Muawiyah dengan Wail bin Hujr, raja dari Yaman Selatan. Perjumpaan yang dalam sejarah Islam kelak akan menjadi pelajaran tentang sabar, rendah hati, dan bagaimana Allah membolak-balikkan keadaan manusia.
Tahun kesembilan Hijriyah, setelah
Fathu Makkah, kaum dari berbagai pelosok berbondong-bondong datang ke Madinah. Salah satu kafilah datang dari Hadhramaut, dipimpin Wail bin Hujr, untuk menyatakan keislaman dan berbaiat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Rasulullah menyambut mereka hangat. Kepada Wail, beliau menghadiahkan sebidang tanah dan kebun luas, lalu menunjuk Muawiyah, pemuda miskin yang tengah belajar Islam, untuk menemani sang raja menunjukkan lokasi tanah itu.
Dengan unta yang megah, Wail duduk tegak di punggungnya. Di bawah, Muawiyah berjalan dengan kaki telanjang menyusuri tanah yang membara. Ia memohon, “Bolehkah aku naik di belakangmu?” Wail menjawab dingin, “Aku bukan pelit, tapi kau tak pantas duduk bersama seorang raja.”
Baca juga: Ali bin Abi Thalib di Mata Dhirar bin Dhamrah: Membuat Muawiyah Menangis Muawiyah diam. Ia memohon lagi, “Kalau begitu, pinjamkan sandalmu.” Wail menolak juga: “Berjalanlah di bawah bayangan untaku saja!” Bayangan unta yang sesekali bergeser, bahkan tak cukup untuk melindungi kaki muda Muawiyah dari panasnya batu dan pasir.
Namun Muawiyah tetap diam, sabar. Di dalam hati, ia tahu, tugasnya adalah melayani tamu Rasulullah. Dan ia juga tahu, lelaki di atas unta itu baru mengenal Islam. Ia memilih menelan ucapannya, menggantinya dengan doa.
Dari Bayangan ke SinggasanaTiga puluh tahun berlalu. Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dan Hasan bin Ali menyerahkan tampuk kekuasaan demi persatuan umat, Muawiyah menjadi khalifah. Ia memimpin negeri Islam yang meluas dari Arab hingga Persia dan Afrika Utara.
Di satu hari di Damaskus, Wail bin Hujr yang sudah renta datang menemui Muawiyah. Usianya kini sekitar 80 tahun. Kali ini, Muawiyah menyambutnya bukan dengan kaki telanjang, tetapi dengan pakaian kebesaran dan senyum yang lapang. Ia mendudukkan Wail di singgasananya sendiri, memberinya hadiah, yang justru ditolak Wail dengan berkata, “Berikanlah kepada mereka yang lebih membutuhkan.”
Mereka berbincang hangat, mengenang masa lalu. Wail menunduk, malu mengingat ucapan sombongnya di masa lalu. Di hadapan para hadirin, ia berkata lirih, “Andai waktu bisa mundur, aku ingin saat itu menggendong Muawiyah di atas unta.”
Pelajaran di Balik Bayangan UntaKisah ini tak sekadar tentang dua lelaki. Ia tentang waktu yang menguji keimanan, tentang kesabaran yang berubah menjadi kejayaan, tentang rendah hati dan memaafkan.
Muawiyah memberi contoh bahwa kesabaran adalah bagian dari takwa. Ketika seseorang tidak membalas keburukan dengan keburukan, melainkan dengan kebaikan, ia meneladani ayat Allah:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang lebih baik.” (QS Fushshilat: 34)
Baca juga: Kisah Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai Pelopor Angkatan Laut Islam Wail sendiri menunjukkan bahwa orang besar tidak malu untuk mengakui salah. Di hadapan khalifah, ia justru mengisahkan aib masa lalunya, bukan untuk pamer, tapi agar menjadi pelajaran bagi yang lain.
Kisah ini juga mengingatkan bahwa nikmat tak pernah abadi. Seorang pemuda miskin bisa jadi penguasa besar. Seorang raja bisa belajar untuk merendah. Dan Allah selalu punya cara untuk menguji siapa yang sabar, siapa yang angkuh, dan siapa yang kembali kepada-Nya.
Dari Jalan Berdebu ke Jalan SurgaDi Madinah, Muawiyah dulu berjalan mengikuti bayangan unta. Di Damaskus, Wail duduk di singgasana Muawiyah. Dua jalan yang terhubung oleh iman, oleh takwa, oleh akhlak Rasulullah yang mereka pelajari perlahan-lahan.
Di akhir pertemuan, Wail bin Hujr mengajarkan satu kalimat yang layak direnungkan siapa pun: “Jika waktu bisa mundur, aku ingin menggendong Muawiyah.”
Waktu memang tak bisa mundur. Tapi kisah ini selalu kembali — diceritakan dari mimbar ke mimbar, dari kitab ke kitab, dari hati ke hati — sebagai pengingat bahwa siapa yang bersabar, siapa yang memaafkan, siapa yang merendah, akan diangkat derajatnya oleh Allah.
Dan kadang, bayangan seekor unta cukup untuk menutup rasa malu kita di hadapan Tuhan.
Baca juga: Sejarawan: Islam Masuk ke Maroko Sejak Zaman Muawiyah(mif)