LANGIT7.ID-Di balik peringatan keras
Nabi Muhammad SAW tentang larangan berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, tersembunyi kekhawatiran mendalam terhadap runtuhnya sendi moral masyarakat. Sebuah larangan yang tampak sederhana—“jangan berdua-duaan kecuali dengan mahramnya”—menyimpan pelajaran sosiologis dan spiritual yang panjang.
Di tengah maraknya fenomena pergaulan bebas, batas antara privasi dan peluang maksiat menjadi kian kabur. Khalwat, atau bersendiri dengan lawan jenis tanpa pengawasan mahram, dianggap sepele dalam banyak interaksi sosial modern: bekerja dalam satu ruangan tertutup, mengantar pulang teman, belajar berdua. Namun dalam pandangan syariat, di situlah lubang kehancuran bisa menganga.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan,” sabda Nabi, seperti diriwayatkan Imam Ahmad.
Larangan itu tidak semata-mata membatasi ruang gerak atau mencurigai niat. Islam memahami tabiat manusia: perasaan bisa tumbuh bukan karena rencana, tapi karena kesempatan.
Baca juga: Islam Tidak Hanya Melarang Zina, tetapi juga Melarang Mendekatinya Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya atas surah al-Ahzab ayat 53 menjelaskan, pembatasan interaksi antara laki-laki dan perempuan asing ditujukan untuk membersihkan hati—baik hati laki-laki maupun perempuan. Islam, sejak awal, tak menaruh kepercayaan penuh pada kemampuan manusia dalam mengendalikan nalurinya, apalagi saat pintu godaan terbuka lebar.
Bertemu MautLarangan ini menjadi lebih genting ketika konteksnya adalah ipar—kerabat dekat dari pasangan yang kerap berada dalam lingkup rumah tangga. Nabi menyamakan khalwat dengan ipar sebagai “maut”. Ucapan ini bukan hiperbola agama, melainkan peringatan atas bahaya yang sangat nyata.
“Bersendirian dengan ipar itu sama dengan menjumpai mati,” ujar Nabi sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari. Ibnul Atsir menafsirkan, kalimat ini sejenis perumpamaan Arab: seperti bertemu singa adalah bertemu maut. Karena bahayanya bukan hanya mengancam iman dan kesucian pribadi, tetapi juga kelangsungan rumah tangga dan martabat sosial keluarga.
Ipar lebih rawan menimbulkan fitnah dibanding orang lain. Sebab dia akrab, sering keluar-masuk rumah, bahkan kadang membantu kebutuhan harian. Kedekatan emosional ini bisa berubah menjadi kedekatan fisik. Celakanya, semua berlangsung di bawah anggapan “kekeluargaan”, hingga pengawasan longgar dan prasangka baik justru menjadi celah godaan.
Baca juga: Zina Paling Berat Dalam Islam, Ini Jenisnya yang Paling Diharamkan Menurut Ustadz Khalid Basalamah Khalwat bukan soal hitam-putih aturan, tapi cermin atas betapa rapuhnya benteng keimanan dalam situasi yang menggoda. Maka tidak mengherankan jika Rasulullah menempatkan larangan ini dalam kategori iman: “Barang siapa beriman...”. Artinya, menghindari khalwat adalah ekspresi keimanan, bukan sekadar kepatuhan hukum.
Jika dilihat dari sisi sosial, larangan ini juga berkait erat dengan stabilitas rumah tangga. Dalam kasus yang sering terjadi, konflik bermula dari interaksi yang “biasa-biasa saja”, kemudian menimbulkan kecemburuan, lalu curiga, kemudian krisis. Dari rumah tangga runtuh, hancurlah unit sosial terkecil umat ini. Dalam skala lebih besar, kehancuran ini menjalar menjadi budaya permisif yang tak lagi menaruh curiga pada api di bawah jerami.
Bagi masyarakat Muslim, kehati-hatian adalah pagar keselamatan. Islam bukan anti-perempuan, bukan anti-pergaulan, tapi sangat sadar pada dinamika hati dan tarikan syahwat. Karena itulah, dalam banyak aturan syariat, yang dibangun adalah jarak, bukan kecurigaan; pembatasan, bukan penghukuman.
Tanpa Ruangan FisikDalam era digital hari ini, khalwat bahkan bisa terjadi tanpa ruangan fisik. Percakapan lewat pesan pribadi, video call tanpa kehadiran orang lain, dan interaksi dalam ruang privat virtual, semuanya rentan menghadirkan "syaitan ketiga". Jika dahulu batas-batas moral diuji dalam ruang rumah, kini ia diuji lewat layar ponsel.
Baca juga: Pandangan Pengantar Zina: Kisah Al-Fadhl bin Abbas sampai Nabi Yusuf Umat Islam modern menghadapi tantangan yang lebih halus tapi lebih dalam. Kesadaran moral bukan hanya soal menjauhi ruang fisik, tapi juga membangun benteng batin. Sebab ketika ruang semakin tanpa sekat, satu-satunya pengawasan yang tersisa adalah takwa.
Nasihat Rasulullah tetap abadi: jangan berdua-duaan, kecuali bersama mahramnya. Karena saat dua jenis bertemu tanpa pelindung, yang ketiga bukanlah malaikat.
(mif)