LANGIT7.ID-Perdebatan tentang
hukuman rajam bagi pelaku zina kembali mencuat setiap kali isu moralitas dan hukum pidana Islam dibicarakan di ruang publik Indonesia. Rajam—hukuman mati dengan cara dilempari batu hingga meninggal—dikenal dalam literatur fikih klasik sebagai sanksi bagi pezina muhshan (yang sudah menikah). Namun, apakah hukuman ini masih relevan diterapkan di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan hukum positif modern?
Dalam tradisi fikih, mayoritas ulama Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa rajam merupakan bagian dari hudud, hukuman tetap yang ditetapkan syariat. Dasarnya berasal dari hadis-hadis yang cukup kuat. Misalnya, riwayat tentang Nabi Muhammad SAW yang merajam Ma’iz al-Aslami dan seorang perempuan Ghamidiyah karena keduanya berzina dalam keadaan sudah menikah (lihat Shahih Muslim, Kitab Hudud). Selain itu, Umar bin Khattab pernah menegaskan bahwa ayat tentang rajam pernah diturunkan, namun hukumnya tetap berlaku meski ayat itu tidak dibaca dalam mushaf (
Al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, jilid 3).
Pandangan ini dipertegas oleh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (1985), yang menyatakan bahwa rajam adalah konsensus ulama klasik meski menimbulkan kontroversi pada sebagian kalangan kontemporer. Menurut al-Zuhaili, rajam dipandang sebagai bentuk perlindungan syariat terhadap kehormatan keluarga dan masyarakat.
Baca juga: Antara Dosa dan Ikatan Suci: Polemik Nikah dengan Pezina Namun, muncul pula kritik tajam terhadap rajam. Muhammad Syahrur, pemikir Islam progresif dari Suriah, dalam al-Kitab wa al-Qur’an (1990) menolak rajam dengan argumentasi bahwa al-Qur’an hanya menetapkan hukuman zina berupa 100 kali cambuk (QS. an-Nur: 2), tanpa menyebut rajam. Menurutnya, rajam adalah tradisi hukum Yahudi yang kemudian diserap sebagian komunitas Muslim. Pendapat ini diamini oleh beberapa sarjana modern seperti Fazlur Rahman dalam Islam (1984), yang menekankan perlunya penafsiran kontekstual terhadap teks agar tidak bertentangan dengan nilai keadilan universal.
Dalam konteks Indonesia, hukum positif jelas tidak mengenal rajam. KUHP hanya mengatur perzinaan sebagai tindak pidana terbatas, itu pun setelah revisi 2022. Hukuman yang berlaku sebatas pidana penjara, bukan hukuman mati. Meski demikian, beberapa daerah dengan basis syariat, seperti Aceh, menetapkan hukuman cambuk bagi pezina berdasarkan Qanun Jinayat. Bahkan, perdebatan di Aceh tentang kemungkinan memberlakukan rajam sempat muncul, namun mendapat penolakan keras dari pemerintah pusat karena dinilai bertentangan dengan konstitusi (lihat: Syarifuddin, Hukum Jinayat Aceh: Telaah Politik Hukum Islam di Indonesia, 2017).
Baca juga: Islam Tidak Hanya Melarang Zina, tetapi juga Melarang Mendekatinya Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah Indonesia, dengan sistem hukum nasionalnya, bisa atau perlu mengadopsi rajam? Dari perspektif maqasid al-syari’ah, tujuan hukum Islam adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Hukuman zina harus ditempatkan dalam kerangka melindungi moralitas dan keturunan, tetapi bukan berarti mengabaikan prinsip keadilan, kemanusiaan, dan HAM.
Sejumlah sarjana Muslim Indonesia menawarkan jalan tengah. Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an (1996) menegaskan bahwa hukuman dalam Islam bukan hanya soal bentuk, melainkan juga tujuan. Jika tujuan pencegahan bisa dicapai dengan sistem hukum modern yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, maka penerapan rajam tidak wajib. Hal serupa ditegaskan oleh M. Atho Mudzhar dalam Fikih dan Reaktualisasi Ajaran Islam (1993), bahwa hukum Islam perlu diletakkan dalam konteks sosio-historis masyarakat yang terus berubah.
Dengan demikian, rajam sebagai bagian dari fikih klasik tetap memiliki kedudukan historis dan teologis, tetapi penerapannya di Indonesia menghadapi hambatan serius: bertentangan dengan hukum positif, prinsip hak asasi manusia, dan konstitusi. Tantangan terbesar bukan sekadar soal hukum, melainkan bagaimana menafsirkan kembali ajaran Islam dalam kerangka negara-bangsa yang pluralistik.
Baca juga: Zina Paling Berat Dalam Islam, Ini Jenisnya yang Paling Diharamkan Menurut Ustadz Khalid Basalamah Pada akhirnya, diskursus rajam di Indonesia mengingatkan bahwa hukum Islam bukanlah bangunan beku, melainkan tradisi ijtihad yang selalu terbuka bagi tafsir ulang. Rajam mungkin relevan pada konteks Arab abad ke-7, tetapi di Indonesia abad ke-21, tantangan moralitas dan hukum perlu dijawab dengan pendekatan yang lebih manusiawi, berkeadilan, dan tetap setia pada tujuan syariat.
(mif)