Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 12 Oktober 2025
home masjid detail berita

Antara Dosa dan Ikatan Suci: Polemik Nikah dengan Pezina

miftah yusufpati Kamis, 21 Agustus 2025 - 04:15 WIB
Antara Dosa dan Ikatan Suci: Polemik Nikah dengan Pezina
Membaca literatur klasik dan fatwa kontemporer, benang merahnya tetap sama: pintu tobat dalam Islam tidak pernah tertutup. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Di sebuah majelis pengajian di Kairo pada awal abad ke-20, seorang murid tampak memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang menggelisahkan banyak orang: “Syekh, apakah seorang lelaki boleh menikahi perempuan yang pernah ia zinahi?”

Pertanyaan itu membuat suasana mendadak hening. Topik zina, sebagaimana diulas berulang kali dalam tafsir dan fatwa ulama, memang selalu menjadi ranah sensitif. Di satu sisi, Al-Qur’an mengecam keras perbuatan tersebut. Namun di sisi lain, Islam juga membuka pintu ampunan seluas-luasnya.

Dalam diskursus hukum Islam, jawaban atas pertanyaan itu justru memperlihatkan dinamika ijtihad para ulama lintas zaman. Mayoritas ulama, mulai dari kalangan fuqaha klasik hingga otoritas kontemporer, cenderung memberi ruang. Syaratnya: pelaku zina benar-benar bertobat dengan taubat nasuha.

Baca juga: Apakah Allah Taala Menerima Tobat Koruptor saat Sudah Tak Menjabat Lagi?

Pintu Taubat Tak Pernah Tertutup

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, ulama besar asal Mauritania yang dikenal melalui tafsir Adhwa’ul Bayan, memberikan penegasan yang sering dikutip. “Bila lelaki pezina dan wanita pezina telah berhenti dari perbuatan zina, menyesali perbuatannya, dan bertekad tidak mengulanginya, maka pernikahan mereka sah,” tulisnya. “Orang yang telah bertobat dari dosa bagaikan orang yang tidak pernah melakukan dosa.” (Asy-Syinqithi, Adhwa’ul Bayan, Juz 3).

Pendapat ini sejalan dengan pandangan jumhur ulama, termasuk di kalangan mazhab Syafi’i dan Hanbali. Tobat, dalam tradisi Islam, dipandang sebagai jalan pembebasan yang menutup dosa-dosa masa lalu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka Allah akan mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqan: 70).

Hamil di Luar Nikah

Namun, kerumitan muncul bila seorang perempuan hamil akibat zina. Dalam situasi ini, mayoritas fatwa menambahkan syarat. Komite Tetap untuk Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia (al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’) dalam fatwanya menegaskan: “Tidak dibenarkan menikahi wanita pezina dan tidak sah akad nikah dengannya, hingga ia benar-benar telah bertobat dan telah selesai masa iddahnya.” (Fatwa Lajnah Da’imah, no. 21152).

Syarat “selesai masa iddah” dalam kasus wanita hamil dipahami sebagai menunggu hingga ia melahirkan. Sebab, pernikahan saat masih mengandung dikhawatirkan akan menimbulkan kerancuan nasab bagi anak yang lahir kelak.

Baca juga: Kesempurnaan Tobat dan Kontinuitasnya Menurut Imam Ghazali

Mazhab Hanafi sedikit lebih longgar. Dalam kitab Al-Hidayah karya al-Marghinani, disebutkan bahwa seorang laki-laki boleh menikahi perempuan pezina meski belum bertobat, tetapi perbuatan itu dipandang makruh. Sementara mazhab Maliki menegaskan ketidakbolehan hingga perempuan tersebut menjalani masa istibra’ yakni masa untuk memastikan rahimnya bersih dari hasil zina sebelumnya.

Dalam konteks Indonesia, pandangan ini pernah menjadi perdebatan di forum-forum fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa ulama cenderung mengacu pada pandangan jumhur dengan catatan bahwa “tobat yang benar-benar tulus menjadi syarat mutlak.”

Antara Moral dan Legalitas

Pertanyaan hukum menikahi pezina sesungguhnya tak hanya berhenti pada tataran fikih. Di banyak masyarakat Muslim, stigma sosial terhadap perempuan yang hamil di luar nikah jauh lebih berat ketimbang laki-lakinya. Pernikahan kadang dijadikan jalan untuk “menutup aib” ketimbang wujud nyata taubat dan komitmen perbaikan diri.

Di sinilah peran ulama dan lembaga fatwa menjadi krusial: menjaga agar hukum agama tidak sekadar menjadi legitimasi bagi praktik sosial yang timpang.

Baca juga: Ajakan Bertobat bagi Ahli Ilmu Pengetahunan yang Menyembunyikan Kebenaran

Membaca literatur klasik dan fatwa kontemporer, benang merahnya tetap sama: pintu tobat dalam Islam tidak pernah tertutup. Namun tobat bukan sekadar lafaz istighfar, melainkan penyesalan mendalam, tekad memperbaiki diri, dan konsistensi amal saleh. Hukum pernikahan dengan pezina yang bertobat pun harus ditempatkan dalam kerangka itu.

Seperti dicatat Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), hukum Islam selalu berada dalam ketegangan antara teks normatif dan realitas sosial. Ia bisa lentur, tapi tak kehilangan akarnya. Dalam isu pernikahan pezina, lenturnya hukum bukan berarti mengabaikan moralitas, melainkan meneguhkan bahwa keadilan ilahi selalu berpijak pada kasih sayang.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 12 Oktober 2025
Imsak
04:07
Shubuh
04:17
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan