LANGIT7.ID-Dari tepi medan perang Siffin ke pusat istana
Abbasiyah, dua mazhab pemikiran ekstrem meninggalkan warisan yang tetap mengguncang hingga hari ini:
Khawarij dan
Muktazilah.
Sore yang tenang di Kufah berubah tegang. Di tengah perdebatan panjang soal legitimasi politik dan moral kekuasaan, segelintir orang meninggalkan barisan pasukan Ali bin Abi Thalib. Mereka kecewa karena sang Khalifah menerima arbitrase dalam perang Siffin melawan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Bagi kelompok ini, kebenaran tidak boleh ditukar kompromi. Maka mereka berbalik arah dan menyebut semua lawan, termasuk Ali sendiri, sebagai kafir. Sejarah kemudian mencatat mereka sebagai kaum Khawarij, pemberontak yang menghunus pedang atas nama kesucian prinsip.
Sekilas, kaum Khawarij tampak seperti riak kecil dalam sejarah. Jumlah mereka tidak seberapa, dan usia gerakan mereka pun pendek. Namun dampaknya bergaung panjang. Dari doktrin ekstrem yang menolak ambiguitas moral hingga penolakan terhadap kompromi politik, Khawarij mewariskan semangat hitam-putih dalam beragama yang tak sepenuhnya punah bahkan hingga abad ini.
Baca juga: Perkembangan Ilmu Fikih: Masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah Tak bersenjata dan tak radikal, namun tak kalah revolusioner adalah kaum Mu’tazilah. Berbeda dengan Khawarij yang gerakannya militan, kaum Mu’tazilah muncul sebagai warisan intelektual dari badai teologi politik yang sama.
Mereka lahir dari rahim perdebatan panjang soal keadilan Tuhan dan kebebasan manusia. Dalam sejarah pemikiran Islam, merekalah yang memformulasikan Ilmu Kalam secara sistematis, dengan logika Yunani, dan gairah rasionalisme.
Jalan Berbeda dari Asal yang SamaMenurut
Nurcholish Madjid dalam bukunya "
Islam: Doktrin dan Peradaban", hubungan antara Khawarij dan Mu’tazilah bukanlah sekadar kebetulan sejarah. Keduanya lahir dari benturan keras antara idealisme agama dan realitas kekuasaan. Khawarij mewakili reaksioner yang ekstrem; Mu’tazilah menawarkan jalan rasional.
Keduanya sepakat pada satu hal: menolak paham Jabariyyah yang fatalistik. Manusia, kata mereka, bukan boneka di tangan Tuhan. Ada ruang untuk kebebasan, ada tanggung jawab pribadi. Namun dalam cara mengekspresikan gagasan itu, keduanya berpisah jauh. Jika Khawarij mengangkat pedang untuk membela "haqq" secara literal, Mu’tazilah memilih pena, logika, dan debat.
Baca juga: Menelusuri Akar Historis dan Rasionalitas Ilmu Kalam dari Fitnah Besar hingga Hellenisme Ironisnya, alih-alih menimba dari Al-Qur'an dan Hadis semata, Mu’tazilah justru memperkaya khazanah pemikirannya dengan logika Aristoteles. Dalam tangan mereka, teologi menjadi medan filsafat. Tuhan dibahas dengan proposisi. Kalam diartikulasikan dengan silogisme. Dan Tauhid dipahami sebagai upaya menolak sifat-sifat Tuhan—karena bagi mereka, memberi sifat pada Tuhan berarti menyekutukan-Nya dengan sesuatu selain Dzat-Nya.
Di Balik Rasionalisme, Ada KekerasanMu’tazilah boleh dianggap sebagai pelopor rasionalisme dalam Islam. Namun sejarah tak mencatat mereka sebagai kaum yang sepenuhnya damai. Di bawah kekuasaan Khalifah al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah, Mu’tazilah berubah menjadi penguasa wacana yang menggigit. Melalui lembaga inkuisisi bernama mihnah, mereka memaksakan doktrin bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalam Allah yang qadim. Ulama-ulama yang menolak—terutama kalangan Ahlus Sunnah—dipenjara dan disiksa, termasuk Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali.
Mihnah mungkin hanya berlangsung beberapa dekade. Tapi luka intelektual yang ditinggalkan tak cepat sembuh. Kaum Ahlus Sunnah menutup pintu pada Ilmu Kalam. Rasionalisme dianggap barang berbahaya. Akibatnya, warisan intelektual Mu’tazilah menghilang dari arus utama pemikiran Islam. Mereka dilabeli sesat, bahkan kafir. Namun di balik itu semua, Mu’tazilah justru membuka jalan bagi berkembangnya filsafat Islam.
Alih-alih memutus tali dengan dunia pemikiran Yunani, mereka mengintegrasikannya. Di masa al-Ma’mun, diterjemahkanlah karya-karya Plato, Aristoteles, Galen, dan banyak filsuf lain ke dalam bahasa Arab. Dengan itu, logika formal, etika, dan metafisika menjadi bagian dari diskursus keislaman.
Baca juga: Akal Bertemu Wahyu: Menelisik Peran Ilmu Kalam dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik Ketika Kebenaran Tak Lagi TunggalDalam diskursus modern, sumbangan Mu’tazilah mulai direhabilitasi. Gagasan mereka tentang kebebasan berkehendak dan keadilan Tuhan menjadi bahan refleksi penting bagi pemikiran Islam kontemporer.
Sementara itu, Khawarij menjadi rujukan negatif dalam setiap kemunculan ekstremisme keagamaan. Dari ISIS hingga Taliban, banyak analis mengaitkan mereka dengan semangat takfiri warisan Khawarij, meski perbandingan itu sering disederhanakan.
Namun lebih dari itu, kisah Khawarij dan Mu’tazilah adalah pengingat bahwa sejarah Islam tak pernah tunggal. Ia lahir dari pergulatan tajam antara nalar dan iman, antara kekuasaan dan prinsip, antara teks dan konteks. Ketika Mu’tazilah berbicara tentang keadilan Tuhan, mereka sedang menggugat status quo.
Ketika Khawarij mengkafirkan semua pihak, mereka sedang menolak abu-abu moral politik. Keduanya ekstrem dalam cara yang berbeda, tapi keduanya menandai pentingnya perdebatan dalam sejarah Islam.
Dalam lanskap Islam yang terus mencari keseimbangan antara wahyu dan akal, warisan mereka masih terasa: dalam semangat kritis, dalam keberanian bertanya, dan dalam kesediaan menanggung risiko karena keyakinan.
Baca juga: Plus-minus Ilmu Kalam: Ketika Al-Asy'ari Memelopori Jenis yang Anti-Muktazilah(mif)