LANGIT7.ID-Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, tidak banyak disiplin ilmu yang menempati posisi setara 
Ilmu Fiqih dalam hal kepraktisan, atau Ilmu 
Tasawuf dalam hal kedalaman batin. Namun ada satu disiplin yang sejak awal pembentukannya telah berdiri di simpang jalan antara nalar dan iman: 
Ilmu Kalam. 
Di antara segitiga ilmu yang menguasai pemikiran Islam—Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah—Ilmu Kalam kerap menjadi titik temu sekaligus titik gesekan, karena wilayah yang digarapnya adalah sesuatu yang amat mendasar namun tak mudah disentuh: Tuhan dan keesaan-Nya.
Ilmu Kalam membahas aspek-aspek yang paling pokok dalam ajaran Islam, seperti persoalan akidah, sifat-sifat Tuhan, serta hubungan manusia dengan Sang Khalik. Maka tidak mengherankan jika para sarjana menyebutnya sebagai teologi rasional atau teologi dialektik, karena pendekatannya yang khas: menyatukan kekuatan argumentasi logis dengan kedalaman keyakinan.
Baca juga: Plus-minus Ilmu Kalam: Ketika Al-Asy'ari Memelopori Jenis yang Anti-Muktazilah Seperti dicatat oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin dan Peradaban, Ilmu Kalam tidak dapat dipahami semata-mata sebagai teologi dalam pengertian Kristen. Di dalamnya tidak hanya terhimpun pemikiran teologis, tapi juga dinamika khas Islam dalam menyikapi hubungan antara teks, akal, dan kenyataan sosial.
Dari Mu’tazilah ke Asy’ariyahIlmu Kalam lahir di tengah gejolak sejarah, saat umat Islam mulai bersentuhan dengan filsafat Yunani, agama-agama lain, serta pandangan-pandangan dunia yang menantang narasi Islam. Dalam fase inilah muncul kelompok Mu’tazilah yang menekankan peran akal dalam memahami Tuhan dan keadilan-Nya. Bagi mereka, akal adalah sumber sah dalam mengetahui kebaikan dan keburukan, bahkan tanpa wahyu sekalipun.
Namun keberanian spekulatif Mu’tazilah ini memicu kekhawatiran di kalangan ulama lain. Maka muncul reaksi balik yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, mantan tokoh Mu’tazilah yang berbalik arah dan merintis jalan tengah. Ia tetap mempertahankan penggunaan nalar, tetapi menundukkannya pada batas-batas wahyu. Pendekatan ini kemudian berkembang menjadi mazhab Asy’ariyah, yang banyak dianut oleh mayoritas umat Islam Sunni hingga kini.
Sebagaimana dicatat Nurcholish Madjid, perbedaan antara pendekatan Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya tidak terletak pada penggunaan rasio, tetapi pada titik tekan epistemologisnya: apakah akal menjadi panglima yang otonom, atau justru berfungsi sebagai pembela teks wahyu?
Baca juga: Peranan Kaum Khawarij dan Muktazilah dalam Ilmu Kalam Menelusuri Tradisi PesantrenMeski menempati posisi penting dalam sejarah pemikiran Islam, posisi Ilmu Kalam dalam tradisi pendidikan keagamaan di Indonesia—khususnya di madrasah dan pesantren—cenderung kalah pamor dibanding Ilmu Fiqh. Ilmu Fiqh, dengan fokusnya pada hukum ibadah dan muamalah, dianggap lebih praktis dan langsung terasa manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Kajian Kalam di lingkungan pesantren, sebagaimana diamati oleh Nurcholish Madjid, umumnya terbatas pada jenjang permulaan hingga menengah, melalui kitab-kitab seperti ‘Aqidat al-‘Awamm, Jawharat al-Tauhid, atau Sanusiyyah. 
Penggalian pada tingkat lanjut, seperti diskusi mendalam tentang problem penciptaan, sifat-sifat Tuhan, atau pertentangan antara Qadariyah dan Jabariyah, jarang dilakukan. Bahkan pendekatan pengajarannya pun lebih bersifat dogmatis ketimbang reflektif.
Situasi ini membuat Ilmu Kalam kerap dipandang sebagai ilmu yang kaku dan usang, padahal di dalamnya tersimpan kekayaan dialektika yang relevan untuk menjawab tantangan zaman.
Baca juga: Pertumbuhan Ilmu Kalam: Makna Harfiah dan Mereka yang Setuju Pembunuhan Utsman bin Affan Ilmu yang Menunggu KebangkitanDalam dunia modern yang plural dan kritis, persoalan tentang Tuhan, keadilan ilahi, dan kebebasan manusia tak henti-hentinya dipertanyakan. Di sinilah Ilmu Kalam memiliki peluang untuk mengambil peran baru: sebagai jembatan antara iman dan nalar, antara tradisi dan perubahan zaman.
Namun itu hanya mungkin jika Kalam dibaca ulang bukan sebagai doktrin mati, melainkan sebagai warisan dinamis. Kalam perlu keluar dari sekadar hafalan sifat wajib dan mustahil Tuhan, menuju ruang-ruang diskusi yang menyentuh akar persoalan hidup modern. 
Sebagaimana ditekankan Nurcholish Madjid, penting sekali untuk memahami Kalam secara proporsional, agar tidak muncul penyederhanaan buta atau penolakan sembrono terhadap warisan intelektual Islam ini.
Mungkin sudah saatnya generasi baru Muslim membaca kembali karya-karya klasik Kalam—bukan untuk menghafalnya, tapi untuk menafsirkannya ulang dalam terang dunia yang terus berubah.
Baca juga: Sedikit tentang Ilmu Kalam: Pengajaran di Pesantren Masih Terbatas Sebab Kalam bukan hanya tentang membela iman dari serangan luar, tapi juga tentang merumuskan keyakinan yang berakar kuat, tapi tetap terbuka. Sebab yang dicari Kalam bukan hanya kebenaran formal, tapi kebenaran yang hidup—yang mampu menjawab, bukan hanya mengulang.
(mif)