LANGIT7.ID-Angin gurun berembus dingin, menyapu jalan-jalan sempit Basrah yang mulai sepi. Lentera minyak bergoyang di teras rumah-rumah tanah liat, memantulkan cahaya redup ke pasir yang menghampar. Di kejauhan, langkah kaki terdengar: ringan, tapi teratur.
Seorang perempuan berjubah wol sederhana melangkah pelan. Di tangan kanannya, sebuah obor kecil; di tangan kirinya, kendi berisi air.
“Rabi‘ah, ke mana engkau hendak pergi malam-malam begini?” tanya seorang lelaki tua yang duduk di depan rumahnya.
Rabi‘ah berhenti sejenak, menatapnya dengan mata yang menyala, meski wajahnya teduh. “Aku hendak membakar surga dan memadamkan neraka,” jawabnya.
Lelaki tua itu tertegun. “Mengapa?”
“Agar manusia menyembah Allah bukan karena berharap pahala atau takut siksa,” ujarnya lirih. “Tetapi semata karena cinta kepada-Nya.”
Dialog itu kelak menjadi salah satu kisah paling abadi tentang 
Rabi‘ah al-Adawiyah, perempuan sufi abad ke-8 yang menyalakan api tasawuf dengan bahasa cinta. Sumber-sumber klasik seperti 
Tadhkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Attar (Attar, 1976) menggambarkannya bukan hanya sebagai ahli ibadah, tapi juga revolusioner rohani.
Baca juga: Tasawuf: Jejak Asketisme, Lintas Perdebatan, dan Bayang-Bayang Asing di Tubuh Islam Basrah, pada masa itu, adalah kota pelabuhan yang sibuk. Pasar-pasar ramai di siang hari, tapi malamnya sepi, hanya terdengar derap unta dan denting lonceng kafilah. Di lorong-lorong inilah Rabi‘ah sering berjalan sendirian, menolak kemewahan dan memilih hidup asketis.
“Wahai Rabi‘ah, tidakkah engkau takut sendirian di malam seperti ini?” tanya seorang pemuda penjaga masjid.
Ia tersenyum tipis. “Bagaimana aku takut, jika aku bersama Kekasihku?”
Kalimat itu terekam dalam riwayat-riwayat yang dihimpun oleh Margaret Smith dalam 
Rabi‘a The Mystic and Her Fellow-Saints in Islam (Smith, 1928), di mana Rabi‘ah digambarkan menganggap Allah sebagai “Al-Habib” — Sang Kekasih sejati. Cintanya bersifat total, menghapus jarak antara hamba dan Tuhan.
Rabi‘ah tidak lahir dari keluarga kaya. Sejarawan seperti Reynold A. Nicholson dalam 
A Literary History of the Arabs (Nicholson, 1907) menyebut ia lahir dalam kemiskinan, bahkan sempat menjadi budak sebelum dibebaskan. Kebebasan itu justru ia gunakan untuk membebaskan dirinya dari hasrat duniawi.
Baca juga: Tasawuf Menurut Syaikh Al-Qardhawi: Jejak Sunyi Menuju Cahaya Dalam sebuah malam sunyi, ia pernah terlihat berdiri di atap rumah, menengadah ke langit. “Ya Allah,” bisiknya, “jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu demi surga, tutuplah pintunya dariku. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka jangan palingkan wajah-Mu dariku.”
Doa itu menjadi pusaka rohani yang dikutip ulang di banyak kitab tasawuf dan penelitian modern. Annemarie Schimmel dalam 
Mystical Dimensions of Islam (Schimmel, 1975) menafsirkan doa tersebut sebagai puncak tauhid cinta: penghambaan tanpa motif selain Allah sendiri.
Di akhir hidupnya, Rabi‘ah jatuh sakit. Murid-muridnya berkumpul di sekeliling ranjang. “Doakan kesembuhanmu, wahai guru,” pinta mereka.
Rabi‘ah tersenyum lemah. “Aku malu meminta sesuatu pada-Nya. Bukankah Dia lebih tahu apa yang terbaik bagiku?”
Dan di pagi yang tenang, Rabi‘ah menghembuskan napas terakhir. Basrah kembali dipenuhi langkah-langkah orang yang mengiringi jenazahnya. Tapi di mata mereka, perempuan itu tidak mati. Ia hanya berpindah ke pelukan Sang Kekasih.
Baca juga: Tasawuf: Di Antara Kekhusyukan dan Kesesatan Kisah Rabi‘ah al-Adawiyah tidak hanya menjadi bagian dari legenda sufistik, tapi juga bahan kajian serius dalam studi Islam. Dari Attar hingga Smith, dari Nicholson hingga Schimmel, narasinya terus hidup: seorang perempuan yang mengubah wajah ibadah dari sekadar kewajiban menjadi perayaan cinta.
(mif)